Simbolisme Makanan Dalam Tradisi Ritual “Ngujuban” di Kuningan Jawa Barat

Pendahuluan

Berbicara persoalan tradisi yang sangat beragam di Indonesia, kita perlu tahu bahwasannya tradisi merupakan kebiasaan atau adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun biasanya melalui lisan. Selain itu, mewariskan pula nilai-nilai budaya seperti kebiasaan, sistem kepercayaan, dan lain-lain. 

Kata tradisi berasal dari bahasa Latin “tradition” yang berarti kelanjutan. Secara harfiah sederhananya tradisi adalah sesuatu yang sudah dilanjutkan sejak lama dan sudah menjadi bagian dari kehidupan kelompok masyarakat. Tradisi berkaitan pula dengan ritual yang memiliki arti tindakan seremonial menurut KBBI. Atau dapat dikatakan pula upacara adat yang merupakan wujud dari tradisi itu sendiri. 

Tradisi ritual memiliki peran yang cukup penting dalam mempertahankan warisan budaya suatu masyarakat. Salah satu aspek yang menarik perhatian adalah bagaimana simbolisme makanan dalam konteks ritual.  Sehingga dapat kita ketahui bahwa makanan bukan hanya sekadar kebutuhan pokok untuk menopang keberlangsungan hidup seseorang tetapi dapat pula sebagai keperluan tradisi dalam mempertahan warisan budaya.  

Kuningan merupakan wilayah kabupaten di Jawa Barat yang masyarakatnya masih aktif dalam mempertahan adat istiadat secara turun-temurun salah satunya adalah Ngujuban. Ritual ini   menggambarkan bagaimana hubungan antara masyarakat Kuningan dengan makanan dalam konteks spiritual dan budaya.  Sehingga dalam esay ini akan diuraikan bagaimana simbolisme makanan sebagai peran penting atau objek dalam ritual Ngujuban.  

Pembahasan 

Budaya mempengaruhi setiap kehidupan individu seseorang dimana dia berinteraksi dengan masyarakat dilingkungannya maupun komunitas mereka. Budaya lahir dari satu generasi ke generasi berikutnya secara turun temurun sehingga dalam hal ini setiap individu menggunakan simbol-simbol dalam budaya dan peran budaya pula memiliki pengaruh besar terhadap suatu individu. (Misnawati, 2019). 

Ngujuban merupakan salah satu tradisi berdoa di wilayah Kuningan. Bukan berdoa sebagai rasa syukur dan sejenisnya tetapi doa untuk keluarga atau kerabat yang sudah meninggal. Ngujuban tidak dilakukan di pemakaman akan tetapi di rumah masing-masing orang yang melakukannya. Masyarakat Kuningan percaya bahwa orang yang sudah meninggal arwahnya akan tetap berada dirumah pada waktu tertentu sehingga ngujuban dilakukan pada saat tertentu pula seperti, 1) tepang taun yang artinya bertemu kembali dengan hari itu biasanya digunakan untuk memperingati hari kelahiran tetapi dalam konteks ngujuban menggunakan waktu kematian sehingga dalam hal ini ngujuban dilakukan sebagai memperingati hari kematian seseorang, 2)munggahan kegiatan makan bersama keluarga dalam menyambut bulan suci Ramadhan yang dilakukan sehari sebelum puasa hari pertama sehingga masyarakat percaya pada saat itu arwah sedang berkunjung ke rumah , atau 3)ngajahul artinya memperbaiki makam dengan lebih baik misalnya yang tadinya hanya tanah lalu diberikan Mausoleum. 

Ritual ini dilakukan secara konsisten setiap tahun. Doa-doa dalam ngujuban dilantunkan oleh Kyai yang masyarakat percayai dapat merasakan adanya arwah didalam rumah atau biasa dipanggil “orang pintar”. Prosesi ngujuban dapat dikatakan cukup mudah. Pertama-tama menyiapkan makanan di meja, berdoa dengan posisi seperti doa akan makan, lalu makanan dibiarkan sampai tujuh hari. Setelah itu selesai. 

Makanan yang ada dalam ritual Ngujuban adalah sebagai simbolisme komunikasi antara yang hidup dan yang mati, sehingga isi didalamnya bukan hanya sebagai makanan biasa tetapi memiliki nilai dan makna. Foster dan Anderson mengatakan bahwa peran simbolis makanan adalah sebagai berikut: 

  1. Makanan memberikan makna ikatan sosial 
  2. Makanan sebagai ungkapan kesetiakawanan
  3. Makanan dan relation
  4. Makanan sebagai simbolisme bahasa 

Makanan menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat memberikan makna simbolik secara kognisi. Menurut Barthes (2007) makanan meringkas suatu keadaan yang menunjukan informasi dan menjadi tanda dan suatu unit sistem ketika seseorang mengkonsumsi atau membelinya. Dengan demikian makna simbolik dalam makanan pada tradisi Ngujuban dapat diuraikan sebagai berikut: 

NoNama ObjekDefinisi/NarasiSimbol MaknaPandangan Hidup
1Juru DoaOrang yang memimpin jalannya kegiatan Ngujuban Kyiai atau yang sering disebut orang pintarDipercaya dapat menjadi perantaraAda batasan antara manusia dengan variabel yang lain
2Kopi Hitam Minuman “khusus” yang selalu disajikanKopi dalam gelasRasa kehidupanHidup di dunia pahit/gelap
3Kemenyan Nu enyana / Saenya-enyanaAsap Transenden Manusia kembali ke tuhan 
4Makanan Ragam makanan yang dapat dimakan Makanan yang sering dimakan almarhum ketika masih hidupMewakili orang yang sudah wafatSumber energi manusia
5Air Putih Air pada gelas kecil Gelas kecil = RagaTransenden Pribadi Manusia 
6Doa Ayat-ayat suci / mantraTulisan dalam secarik kertasTransenden Manusia dengan Tuhannya

Tabel 1: tabel matrix komponen dalam kegiatan Ngujuban. Dikelola oleh penulis.

Tabel diatas sebagai gambaran kasar hal apa saja yang terlibat dalam kegiatan Ngujuban. Dalam berbagai ritual, makanan sering kali dianggap lebih dari sekedar kebutuhan fisik. Mereka memikul beban simbolis yang dalam, makanan yang disajikandapat melambangkan beragam nilai, keyakinan, dan makna dalam konteks ritual. Makanan disini berarti makanan yang sering dimakan oleh “almarhum” semasa hidupnya. Isinya beragam dimulai dari makanan pokok, lauk pauk, sampai dengan kudapan. Simbolisme makanan dalam hal ini sebagai suatu media perantara dalam kegiatan Ngujuban tersebut. Dalam kata lain Ngujuban tidak bisa disebut begitu jika tidak ada makanan didalamnya. Makanan pokok berarti nasi, karena secara geografi wilayah Kuningan dikelilingi dengan sawah sehingga mata pencaharian utama adalah sebagai petani begitupun dengan makanan pokok adalah nasi. Lauk-pauk adalah makanan ragam yang lain pendamping nasi, seperti Tahu, Tempe dll. Dalam pemilihan makanan lauk-pauk biasanya memilih jenis lauk pauk yang paling cepat atau mudah basi, dikarenakan menghindari makanan untuk dimakan oleh orang lain. Sebuah pantangan yang masyarakat Kuningan percayai. Selain itu, kudapan biasanya merujuk pada suatu makanan penutup yang manis seperti Apem atau Gemblong. 

Dalam kegiatan Ngujuban, makanan memiliki posisi yang penting karena selain dalam prosesi ritual berdoa, Ngujuban juga berarti Nyuguhan atau dalam artian adalah menjamu. Sehingga makanan memiliki makna untuk menjamu arwah yang datang ke rumah. Meski terlihat tidak masuk akal, kegiatan Ngujuban tetap menjadi kepercayaan masyarakat Kuningan sekaligus sebagai bentuk cara menghargai makanan karena menjadi bagian dalam adat setempat. (Hana Diah Khoerunnisa – Juara 2 Lomba Menulis Esai Anthropology Student Awards 2024)

Kesimpulan

Dengan demikian, secara keseluruhan simbolisme makanan dalam tradisi Ngujuban di Kuningan menjadi sebuah sarana komunikasi juga sebagai identitas budaya dan spiritualitas masyarakat setempat yang menyatukan unsur kepercayaan nilai dan makna dalam satu kegiatan yang sakral. 

Referensi:

Misnawati, Desi. (2019). Kajian Simbolisme Mpek-mpek Dalam Interaksi Sosial Masyarakat Palembang. Jurnal Vokasi Indonesia. Volume 7. No 1. Universitas Bina Darma.

Rizqianah, Mega dkk. (2021). Membongkar Fungsi Makanan Terkait Ritual Keagamaan Dalam Sanggring Gumeno: Suatu Analisis Antropologi Kuliner. Sunari Penjor. Volume 5. No 1. Universitas Udayana. 

Roy, W Perret. (2013). Indian Philosophy A Collection Of Readings. Routledge. New York. Vol 1-5