Rujak Gobet Tingkeban: Sarana Diagnostik Kultural pada Upacara Tujuh Bulanan Masyarakat Jawa

Le cru et le cuit, dalam bahasa Inggris berarti the raw and the cooked, dalam bahasa Indonesia berarti yang mentah dan yang dimasak. Melalui karya yang ditulisnya ini, Levi Strauss menyumbangkan pemikirannya dalam tulisan ini mengenai makanan. Lewat konsepnya mengenai culinary triangle, Levi Strauss berpendapat bahwa penyiapan makanan merupakan bahasa yang mengungkapkan struktur masyarakat. Konsep culinary triangle yang mengklasifikasikan makanan busuk, mentah, dan dimasak mewakili bidang semantik yang di dalamnya terdapat definisi lebih “budaya” ketika terdapat transformasi bahan alami atau “mentah” menjadi direbus dan dipanggang atau konsep “dimasak” (Graf & Mescoli, 2020). Kajian mengenai makanan begitu unik karena di dalamnya terdapat transformasi dari mulai makanan itu diproduksi sampai makanan tersebut menjadi limbah. Proses tersebut nyatanya tidak hanya mencakup sekedar kegiatan memasak dan ketika makanan sudah jadi melakukan kegiatan mengunyah, namun didalamnya terdapat unsur-unsur yang diperhatikan meliputi bahan dan kombinasi; gerak tubuh dan memasak; serta alat dan kegunaannya (Graf & Mescoli, 2020). 

Memasak tidak sekedar memasak, di dalamnya terdapat norma yang harus dipenuhi untuk menghasilkan sebuah hidangan yang memiliki cita rasa yang sepadan. Praktik-praktik semacam ini membentuk hubungan bahan-bahan, peralatan memasak, dan pemakan menggambarkan budaya bersama (Levi-Strauss, 1964: 16 dalam Graf & Mescoli, 2020). Dalam tradisi masyarakat Indonesia, makanan sering digunakan sebagai unsur yang dijadikan sebagai bahan simbol. Setiap tradisi di Indonesia selalu memiliki ciri khas dalam bentuk makanannya. Makanan menjadi suatu hal yang dapat menggambarkan suatu tradisi secara keseluruhan. Bahan makanan yang melimpah di Indonesia menjadikan hidangan di Indonesia kaya akan rasa. Dalam masyarakat Jawa selalu identik dengan acara perayaan yang dimaksudkan untuk nyuwun selamet, meminta selamat agar jalan keselamatan dalam hidup. 

Makanan dalam budaya Indonesia juga lekat dengan pelaksanaan ritus, khususnya pada masyarakat Jawa. Tingkeban atau perayaan tujuh bulan merupakan salah satu ritus yang di dalamnya terdapat simbol makanan yang identik dengan penentuan jenis kelamin dan makna kultural Sang Bayi dan kehidupan. Sarana penentuan jenis kelamin pada calon bayi biasanya menggunakan kelapa gading (Hambali, 2023) yang diukir gambar wayang, sehingga tebak-tebakan mengenai jenis kelamin dapat dilihat dari garis belahan kepala tersebut yang sebelumnya telah dipecah menggunakan parang atau sejenisnya oleh ayah calon bayi. Terdapat komponen lain dalam penentuan jenis kelamin ala masyarakat Jawa, yaitu menggunakan rujak gobet. Rujak gobet memiliki rasa yang khas yaitu perpaduan asam, manis, asin, dan pedas. Rujak gobet berisikan 7 buah beraneka ragam dengan bumbu yang pedas (Nurhadji et al., 2020). 

Diagnosa jenis kelamin pada bayi melalui sarana rasa dalam rujak gobet yang dibuat. Jika rujak gobet memiliki rasa asin, biasanya bayi akan berjenis kelamin perempuan (Nurhadji et al., 2020). Terdapat literatur lain yang menyatakan bahwa jika rujak gobet memiliki rasa yang kurang enak makan calon bayi akan berjenis kelamin laki-laki, sebaliknya jika rujak gobet memiliki rasa yang enak dan pas makan calon bali akan berjenis kelamin perempuan (Putri et al., 2020). Pembuatan rujak gobet dilakukan oleh calon orang tua, calon ibu membuat rujak sedangkan calon ayah mendampingi proses pembuatannya. Rujak gobet memiliki cara pembuatan yang diserut, buah yang digunakan bebas namun tetap ada 7 jenis, namun biasanya masyarakat Jawa menggunakan bengkoang, nanas, mangga muda, belimbing, timun, kedondong dan jeruk bali. Rujak gobet yang menggunakan berbagai macam buah juga memiliki filosofis agar calon bayi dapat dengan mudah bergaul dengan siapa saja (Putri et al., 2020). Dalam prosesi Tingkeban terdapat kegiatan dodol rujak (jualan rujak), memiliki makna sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan untuk keselamatan bayi dan orang tua (Rinda et al., 2024).

Komponen bahan yang terdapat dalam rujak gobet Tingkeban memiliki kandungan yang baik untuk ibu hamil yaitu jeruk bali merah. Jeruk bali merah memiliki kandungan pectin, likopen, flavonoid, dan niacin. Kandungan flavonoid dapat meningkatkan produksi empedu yang dapat menetralkan cairan pencernaan asam yang dapat mengurangi rasa mual (Nugrahani, 2015 dalam Rinda et al., 2024). Maka dari itu rujak gobet Tingkeban memiliki cita rasa yang segar, yaitu asin, manis, asam, dan pedas melambangkan arti kehidupan (Erawati et al., 2022). Dari cita rasa yang berbagai macam tersebut, rujak gobet juga memiliki makna agar anak yang dilahirkan dapat lancar berbicara (Ayunda & Ningsih, 2022). Pemaknaan makanan dalam masyarakat Jawa mengungkapkan struktur dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat dapat memberikan pemaknaan yang berasal dari satu mulut ke mulut lain, lalu diolah menjadi informasi yang digunakan sampai sekarang. 

Pembuatan rujak gibet dalam tradisi Tingkeban memperhatikan dasar estetika dan rasa serta mencirikan makanan khas nusantara yang kaya akan rempah dan bahan alami seperti buah-buahan. Dasar estetika dan rasa rujak gobet memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan makna kultural yang berasal dari tradisi lisan lalu diolah sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan pedoman dalam menciptakan paten rasa dalam rujak gobet Tingkeban. Pembuatan rujak gobet menciptakan sebuah solidaritas romansa antar unsur yang terlibat dalam pembuatannya. Solidaritas romansa dapat tercipta melalui kebersamaan dan srawung khas masyarakat Jawa, serta menciptakan harmoni sosial dalam sebuah interaksi sosial. Rujak gobet menjadi makanan yang telah mencirikan kultural masyarakat Jawa, sehingga apakah rujak gobet akan dapat bersanding dengan makanan kontemporer lainnya, hal ini hanya dapat dijawab melalui adaptasi modernitas masyarakat Jawa. (Nur Hidayah – Juara 3 Lomba Menulis Esai Anthropology Student Awards 2024)

Referensi

Ayunda, D., & Ningsih, A. R. (2022). Fungsi dan Makna Tradisi Upacara Tingkepan di Desa Mahato. Journal of Literature Rokania, 1(2), 15-19.

Erawati, A., Harahap, R., & Wuriyani, E. P. (2022). Kajian Semiotik pada Tradisi Tingkeban (tujuh bulanan) Etnis Jawa di Desa Persatuan Kabupaten Asahan. Sintaks: Jurnal Bahasa & Sastra Indonesia, 2(1), 119-123.

Graf, K., & Mescoli, E. (2020). Special issue introduction: From nature to culture? Lévi-Strauss’ legacy and the study of contemporary foodways, Food, Culture & Society, 23:4, 465-471, DOI: 10.1080/15528014.2020.1773692.

Hambali, M. W. (2023). Tradisi Tingkeban Masyarakat Suku Jawa Dalam Perspektif Fenomenologi. IJM: Indonesian Journal of Multidisciplinary, 1(5), 2050-2060.

Nurhadji, N., Ibadullah, M., Hanif, M., Sulistyorini, S., & Erry, Y. S. (2020). PERSEPSI MASYARAKAT DESA KARANGJATI KABUPATEN NGAWI TERHADAP TRADISI Tingkeban. Jurnal Inovasi Penelitian, 1(3), 667-672.

Putri, Y. F. R., Nur’aini, L., Ahmad, J., & Fahroni, N. (2020). Makna Kultural Nama-Nama Hidangan dalam Upacara Adat Tingkeban pada Masyarakat Sawojajar Kota Malang (Kajian Antropolinguistik). Jurnal Iswara, 2(2), 1-12.Rinda, S. O. N., Haryati, R. T., & Sulistiyowati, T. I. (2024, February). Etnokonservasi Jeruk Bali Merah (Citrus maxima) pada Tradisi Tingkeban Suku Jawa di Nganjuk Jawa Timur. In Prosiding Seminar Nasional Kesehatan, Sains dan Pembelajaran (Vol. 3, No. 1, pp. 137-143).