Jelajah Ilmu Antropologi dengan Turun Lapangan

Turun lapangan atau lebih dikenal dengan istilah “turlap” adalah kegiatan yang sayang untuk dilewatkan bagi kalian para calon antropolog. Turun lapangan kira-kira merujuk pada suatu kegiatan mencari data atau melakukan penelitian di suatu wilayah. Kegiatan turun lapangan memberikan beragam sensasi bagi kalian para calon antropolog karena disaat itulah kalian akan mengaplikasikan teori yang telah dipelajari di kelas secara real. Salah satu cerita menarik hadir dari kami mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya 2017 ketika melaksanakan kegiatan turlap di kawasan pesisir Sendang Biru, Kabupaten Malang pada tahun 2019. Kami diharuskan tinggal di sebuah “kampung nelayan” selama satu minggu untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan, yaitu bahasa, agama, ekonomi, kesenian, pengetahuan, teknologi dan kekerabatan.

Siapa yang mengatakan jika kegiatan turun lapangan merupakan hal yang mudah? Bagi kami para antropolog muda yang baru pertama kali turun lapangan, kegiatan ini terbilang cukup sulit. Dalam turun lapangan kami harus berbaur dengan masyarakat, membangun rapport hingga ikut melebur dalam kegiatan keseharian masyarakat setempat. Kebanggaan yang kami rasakan di awal kegiatan “turlap” adalah saat kami mulai membaur secara intens bersama masyarakat. Sebagai misal, stigma mengenai masyarakat pesisir yang berkarakter “keras” pun terbantahkan. Masyarakat di daerah pesisir ketika berbicara menggunakan nada yang cukup lantang karena suara ombak yang terkadang lebih keras daripada suara mereka.

Masyarakat Sendang Biru tidak pernah bosan menyajikan kepada kami sesuatu yang mungkin tidak didapatkan di perkotaan. Pada malam hari seringkali kami disuguhi ikan bakar khas pesisir dan di pagi hari ikan segar hasil tangkapan yang diolah dengan resep “bumbu kuning” ala restoran seafood. Aktivitas lapangan kami di pagi dimulai dengan pergi ke dermaga untuk sekedar melihat proses pengangkutan ikan. Jika sedang beruntung, kami akan mendapatkan teman baru yang berawal dari sekedar bertanya, namun justru berujung asyik mengobrol. Karena, selalu ada data dibalik sebuah cerita. Siang menjelang sore kami manfaatkan untuk beristirahat di warung sekitar tempat nelayan singgah. Uniknya, warung seolah menjadi kotak “harta karun” berisi data penelitian. Di warung-warung biasanya para nelayan berkumpul dan mau tidak mau kami tidak boleh melewatkan kesempatan tersebut. Berbagai data dan cerita didengar, kami hanyut dalam obrolan bersama warga sekitar. Ada yang menceritakan urusan rumah tangga mereka, sekedar curhat ataupun membahas permasalahan antar tetangga. Selain mengeksplorasi cerita dari warga, kami juga mendatangi tempat-tempat baru di lokasi penelitian. Ada yang pergi untuk menemukan pantai terpencil dan ada yang ikut pergi berlayar mencari ikan sampai ke tengah laut. Dan yang paling penting, sebagai pertangungjawaban akademik diadakan forum bersama dosen untuk mempresentasikan data hasil temuan kami.

Bagi saya, menjadi seorang antropolog bukan suatu hal sulit dan harus berkriteria pintar. Akan tetapi yang dibutuhkan adalah seorang dengan rasa percaya diri dan kepekaan untuk melihat situasi, kondisi dan menanamkan empati kepada setiap orang. Tidak ada masyarakat yang tidak dapat dijangkau, semua pasti memiliki celah untuk kita selami keseharian mereka. Oleh karena itu, kalian para antropolog muda perlu tahu bahwa Antropologi adalah sebuah langkah kecil dari segala ilmu untuk mengeksplorasi dunia yang sangat luas. [MF/KKN-M/ANT]