“Hari Remaja Internasional”, Saatnya Remaja Bangkit Lawan Depresi!

Kata orang, masa-masa paling indah itu ada di masa remaja. Petualangan di masa remaja yang sangat singkat ini dirindukan oleh banyak orang. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bang Haji Rhoma Irama, darah muda memang selalu merasa gagah. Banyak hal dicoba demi untuk menemukan jati diri yang dicari-cari. Namun di balik semangat yang berapi-api, remaja juga memiliki banyak tekanan depresi yang berpengaruh pada kondisi mentalnya. Disampaikan dalam artikelnya Luh Suryatni (2020) yang mengatakan bahwa pada masanya, remaja banyak mengalami permasalahan, khususnya masalah psikososial penyebab depresi.

Dilansir dari lokadata.id, riset yang diterbitkan dalam Journal of Abnormal Psychology, ditemukan bahwa tingkat depresi berat naik 50 persen pada usia remaja. yakni dari 8,7 menjadi 13,2 persen. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan sendiri yang melakukan riset depresi pada 2018, ditemukan di mana 6,2 persen usia depresi banyak terjadi di kalangan usia 15–24 tahun. Riset-riset lain juga menunjukkan usia-usia muda yang memiliki gejala depresi tertinggi ada pada usia 15–19 tahun.

Pada nyatanya, kehidupan remaja tidak cuma haha-hihi saja. Masalah yang mereka timbulkan atau yang mereka hadapi bisa jadi tidak hanya sebatas dampak kelabilan belaka. Masih dari artikel Luh Suryatni (2020), remaja sering kali merasa depresi karena menyesali diri sendiri dan menumpuk perasaan inferior (inferiority feeling). Inferiority feeling ini timbul karena penilaian terhadap diri sendiri yang didasarkan pada norma orang lain. Bila norma tersebut tidak terpenuhi, remaja akan merasa kurang atas dirinya sehingga perasaan lain seperti perasaan tidak pantas untuk berhasil atau mendapatkan sesuatu yang positif pun bermunculan.

Selain itu, sistem pola asuh juga sangat berpengaruh pada tingkat depresi remaja. Sebab, apabila orang tua menerapkan pola asuh yang tepat, remaja akan bisa mengaktualisasikan dirinya dengan baik (Maslim dalam Safitri dan Hidayati, 2013). Pola asuh yang otoriter dan permisif membuat sebagian besar remaja mengalami depresi pada tingkat sedang, ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Safitri dan Hidayati (2013). Belum lagi dengan kondisi lingkungan di luar keluarga itu sendiri, misalnya tekanan yang berasal dari sekolah serta teman-temannya, tekanan yang didapat pun akan semakin bertambah besar.

Lalu, bagaimana mengatasi depresi di usia remaja? Setidaknya, remaja bisa menggunakan mekanisme “koping maladaptif” dengan menggunakan suatu pola sebagai bentuk penahan ketegangan yang mengancam diri atau mekanisme “koping adaptif” dengan menyelesaikan masalah yang dihadapi (Asnayanti, dkk. dalam Rachmah dan Rachmawati, 2019). Satu contohnya adalah memiliki informasi untuk membantu anak remaja dalam mengontrol perasaan negatif mereka yang muncul dan membantunya menilai suatu permasalahan dengan lebih akurat. Informasi yang dimaksud di awal bisa didapatkan dengan bercerita kepada orang dewasa tanpa merasa seperti sedang dihakimi.

Jadi, jiwa mereka yang bergejolak itu tidak hanya membutuhkan tempat untuk berkreasi, tetapi juga tempat untuk menaruh cerita dan emosi agar depresi pun bisa diatasi [ANT/KKN-M/MZ].

DAFTAR PUSTAKA

Suryatni, L. (2020). Kecerdasan Emosional Dan Perilaku Manusia (Dalam Perspektif Antropologi) Luh Suryatni. Jurnal Mitra Manajemen7(2).

Maharrani, Anidhita. (2019). Generasi Muda Dihantui Gangguan Mentalhttps://lokadata.id/artikel/generasi-muda-dihantui-gangguan-mental diakses pada 4 Agustus 2021.

Rochaniningsih, N. S. (2014). Dampak pergeseran peran dan fungsi keluarga pada perilaku menyimpang remaja. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi2(1).

Safitri, Y., & Hidayati, E. (2013). Hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat depresi remaja di SMK 10 November Semarang. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia1(1).

Rachmah, E., & Rahmawati, T. (2019). Hubungan Pengetahuan Stress Dengan Mekanisme Koping Remaja. DINAMIKA KESEHATAN: JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN10(2), 595–608.