“Bring Back Your Memory”: Eksistensi Makanan Tradisional dalam Tinjauan Anthropology of Memories

Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Peribahasa tersebut sudah tidak asing lagi di telinga, terlebih saat ingin berkenalan atau dekat dengan seseorang. Namun rupanya, artiannya tidak hanya sekadar itu. Peribahasa tersebut juga dapat menggambarkan kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang jika diamati, perhatiannya sudah mulai berkurang bahkan untuk hal-hal yang sejak lahir sudah membaur dengannya, hal tersebut tak lain tak bukan adalah budaya dan tradisi. Jika hal tersebut dibiarkan, bisa saja nantinya akan timbul perasaan tidak memiliki atau menjadi bagian dalam budaya dan tradisi yang telah lama ada dan tidak ada tanggungjawab untuk menjaganya. Indonesia terkenal dengan beragam sukunya, nyatanya negara kepulauan ini memiliki beragam budaya, salah satu contoh dari budaya yang dimaksud ialah makanan tradisionalnya.

Pada dasarnya, ragam makanan tradisional yang ada di setiap daerah di Indonesia sesungguhnya mencerminkan kebhinekaan budaya bangsa Indonesia. Dianalisis lebih jauh, terdapat hubungan antara makanan dan kebudayaan. Dalam Antropologi diketahui adanya tiga wujud kebudayaan yang menurut Koentjaraningrat (2009) wujud kebudayaan terdiri dari ide atau gagasan, aktivitas, dan artefak (benda/hasil karya). Maka, dapat dilihat bahwa makan adalah suatu aktivitas dan diartikan sebagai wujud kebudayaan dalam pengertian umum (Sofyan 2020:47). Selain itu, makanan yang berjenis ‘makanan tradisional’ adalah artefak atau wujud hasil karya manusia yang didapatkan dari ide. Mengutip Prof. Rudy Harjanto yang mengatakan bahwa “makanan tradisional sejatinya menjadi jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan akar budaya mereka, karena setiap hidangan menjadi cerminan dari kreativitas dan kearifan tradisional”. Makanan tradisional menjadi bagian yang terpisahkan dari budaya dan setiap daerah di Indonesia mempunyai lebih dari satu jenis makanan tradisional. Makanan adalah cerminan dari kebudayaan suatu bangsa atau daerah, karena makanan dapat membuat kita memahami makanan tradisional memiliki kekhasan dan tekniknya sendiri.  

Banyaknya kelompok etnis membuat Indonesia juga sangat kaya akan pola hidangan dan menu makanan, serta banyak pula pengaruh budaya luar, seperti India, China, Arab, dan Belanda (Hamdat 2010:43). Dewasa ini kita dengan mudah menemukan makanan yang ingin kita santap, walaupun makanan yang asalnya dari Korea atau Thailand sekalipun. Kini, adanya arus globalisasi dan membuat nyaris tak ada batasan menimbulkan  dampak negatif dari banyaknya jenis makanan luar pun dengan makanan cepat saji yang masuk di Indonesia, adalah menurut Erika (2015) masyarakat cenderung lebih menyukai makanan yang tergolong modern tersebut dibandingkan makanan tradisional. Kemudian hal tersebut diperkuat melalui pengamatan saya sebagai seseorang yang setiap hari aktif bermain media sosial, saya melihat orang-orang saat ini lebih sering mengunggah foto atau video makanan kekinian atau yang sedang viral yang mereka santap dan kemudian diedit dengan menarik atau estetik, saya melihat cukup jarang yang memilih menikmati makanan tradisional dan memperkenalkannya melalui media sosial.

Meskipun begitu, menariknya saat ini di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, usaha-usaha yang berkembang di kota ini telah banyak yang memasarkan makanan tradisional. Tidak hanya sekadar toko, tapi ada beberapa yang menyulapnya menjadi kafe dengan nuasanya masa kini dan tempat yang nyaman. Selain itu, saya pernah mengunjungi salah satu kafe yang nuansanya terbilang modern di Kota Makassar, mereka tidak hanya menyediakan berbagai rasa kopi dan minuman lainnya, tetapi mereka juga menjajakan makanan tradisional, seperti barongko, sanggara’ pappe’ dan lainnya, tidak banyak, tapi ada. Lainnya, terdapat satu toko kue tradisional yang ikonik di Kota Makassar, toko tersebut mengambil motto ‘bring back your memory’ dan kemudian menjadikan toko kue itu sebagai salah satu toko oleh-oleh yang diminati di Kota Makassar.

Melalui motto toko kue tradisional tersebut saya kemudian memahami bahwa terdapat korelasi atau hubungan antara kue tradisional dan memori. Dapat dikatakan saya cukup sering mengkonsumsi makanan tradisional, terlebih kue tradisional hingga membuat saya terkadang mengingat beberapa momen saat sedang menikmati makanan tradisional di masa kini. Pada dasarnya keberadaan makanan tradisional saat ini tidak terlepas dari ingatan. Saya pernah bertanya ke beberapa teman terdekat saya tentang macam-macam kue apa saja yang mereka sukai dan setiap orang yang menjawab beberapa kue yang ia sebutkan pasti selalu ada kue tradisional dalam jawabannya. Dulu, nenek saya seringkali membuat kue tradisional seperti barongko dan kue cucur, sehingga dalam beberapa waktu saat ini ketika saya menyantap kue cucur, saya teringat kue cucur buatan nenek yang disajikan dengan senyuman hangatnya. 

Saya mewawancarai beberapa orang terkait makanan lokal dan mendapatkan fakta bahwa mereka lebih sering memakan makanan tradisional dibandingkan makanan modern. Selain karena harganya terjangkau, cara pembuatannya terbilang ada yang mudah, ternyata makanan tradisional dapat membuka kenangan masa kecil. 

Seperti yang Naya (20 tahun) ceritakan bahwa :

 “Dulu, a’ba dan uwa ku (baca: ayah dan ibu) paling sering beli kue bikang atau surabi, jadinya sampai sekarang juga suka sekali sama itu kue. Biasanya saya beli kue itu di dekat MP (Mall Panakukkang) langganan dari dulu sampai sekarang. Kenapa saya suka kue tradisional karena rasanya yang klasik, unik, pokoknya autentik, jadi tidak terlupakan.” 

Selain itu, Danu (19 tahun) juga mengingat momen bersama keluarganya setiap lebaran :

“Ibuku biasanya setiap lebaran itu buat Coto Ayam, karena katanya dulu juga setiap lebaran selalu dibuatkan menu tersebut oleh nenekku. Jadi kalau lebaran tanpa coto ayam itu rasanya kayak ada yang kurang.”

Sama halnya dengan saya, hingga kini, ketika berada jauh dari rumah, kita tentu akan merindukan dan mengingat makanan yang biasanya disajikan oleh ibu. Ibu saya adalah orang Bugis, tapi karena menikah dengan bapak saya yang bersuku Mandar membuat ibu saya pandai memasak makanan tradisional suku Mandar, seperti bau peapi (ikan masak khas Mandar) dan ketika sedang berada jauh dari rumah kita akan mengingat masakan yang dibuat oleh ibu. 

Makanan tradisional saat ini tidak hanya sekadar yang lumrah di daerahnya, tetapi beberapa kue tradisional dapat dihubungkan dengan kenangan masa kecil, acara keluarga, atau perayaan tertentu.  Mengutip William Wongso dalam Pidato Kebudayaannya (2023) mengatakan bahwa “lidah kita selalu mampu mengingat apa yang pernah kita kecap di masa kecil” yang bermakna bahwa melalui lidah ternyata dapat membuat dan menggugah kenangan indah seseorang di masa lalu. Makanan tradisional memiliki ketertarikannya sendiri yang dapat memancing serta menimbulkan kenangan masa lalu, makanan tradisional menyimpan banyak kenangan pada masa kecil anak-anak di zaman dahulu (Dewi dkk. 2022). 

Memori adalah bagian dari masa lalu, Berliner (2005) menganalisis bahwa ‘para Antropolog berpendapat bahwa masa lalu tidak sekadar berlalu dan dilupakan begitu saja, tetapi tetap ada dalam berbagai cara’. Masa lalu tersebut kemudian selalu ada salah satunya ketika kita sedang menemui rasa yang dulunya pernah dirasakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi tersematkannya makanan tradisional dalam memori adalah karena adanya memori kolektif. Memori kolektif memainkan peran penting dalam membentuk ingatan seseorang, terutama dalam konteks kelompok sosial di mana individu tersebut berada. Proses ini melibatkan sejumlah mekanisme dan pengaruh yang dapat memengaruhi cara seseorang mengingat dan memahami peristiwa masa lalu. Ketika seseorang sedang memakan kue yang dulunya pernah ia nikmati, meskipun rasanya berbeda tetapi dengan jenis kue yang sama, maka sebagian orang akan mengingat kejadian saat mereka pertama kali mengkonsumsi kue tersebut atau dengan siapa biasanya mereka memakannya. Hal itu dapat dikatakan sebagai memori kolektif karena ingatan tersebut hampir hadir disetiap orang.

Seperti cerita saya sebelumnya yang dapat menimbulkan makna bahwa makanan tradisional menjadi bagian dalam memori setiap orang karena ketika mengkonsumsi kue tradisional kita dapat merekam rasa dan peristiwa sebagai kenangan yang memorable (tidak terlupakan). Kenangan masa lalu dalam hal ini merupakan bagian dari memori atau ingatan, dan adapun kaitan antara kue tradisional dan memori dapat berasal dari berbagai hal, seperti aroma, rasa, bentuk, hingga konteks sosial. Ditengah menjamurnya berbagai hidangan kue modern atau saat ini dikenal dengan sebutan ‘kue kekinian’ karena arus globalisasi, kue tradisional masih menjadi kue yang tak terlupakan dan disukai. Hal tersebut merupakan salah satu dampak dari adanya ingatan. Momen-momen yang tercipta dari sesuatu yang sederhana menjadi hal yang tak terlupakan. Kue tradisional dalam hal ini hampir sama dengan ketika kita mendengarkan lagu yang kemudian memunculkan ingatan tertentu.

Pada dasarnya, makanan tradisional menjadi bagian dalam memori setiap orang karena ketika mengkonsumsi kue tradisional kita dapat merekam rasa dan peristiwa sebagai kenangan yang memorable (tidak terlupakan). Kenangan masa lalu dalam hal ini merupakan bagian dari memori atau ingatan, dan adapun kaitan antara kue tradisional dan memori dapat berasal dari berbagai hal, seperti aroma, rasa, bentuk, hingga konteks sosial. (Ananda Awalia Nurfadhya – Juara 1 Lomba Menulis Esai Anthropology Student Awards 2024)

Referensi:

Dewi, N. Y. D., Radiawan, I. M., Kadek, N., & Diantari, Y. 2022. Nostalgia Rasa: Mengulang Manisnya Kenangan Analogi Kue Putu Dalam Busana Feminim Romantic. Journal of Fashion Design. 2(1): 158–166. https://doi.org/10.59997/bhumidevi.v2i1.1507  diakses tanggal 10 Oktober 2023

Erika. 2015. Preservasi Pengetahuan Kue Putu Piring, Makanan Tradisional Kepulauan Riau. Thesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20415634&lokasi=lokal diakses tanggal 31 Oktober 2023

Hamdat, S. 2010. Budaya Pangan & Gaya Hidup Keluarga Makassar Dalam Perspektif Antropologi. Makassar:As Publishing.

Hamdat, S. & Nurhadeliah. 2007. Pengkajian Faktor Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Kebiasaan Pangan Keluarga Terhadap Makanan Berbasis Sagu Dalam Komunitas Bugis Luwu Di Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press (UI-Press).

Wongso, W. 2023. Pidato Kebudayaan 2023: Gastrodiplomasi Nasi Bungkus Untuk Menaklukkan Lidah Dunia, dalam Bakrie & Putra (ed.) Dewan Kesenian Jakarta, 10-26. https://drive.google.com/file/d/1_VmqsvEJKqKwtH3vtxNeneJpmt0NcIHX/view diakses tanggal 27 November 2023

https://www.kompas.com/edu/read/2023/08/15/161103771/prof-rudy-harjanto-makanan-adalah-cerminan-dari-kebudayaan-daerah?page=all diakses tanggal 23 Oktober 2023