Seminar Nasional Kebudayaan III Term of Reference (TOR) “Menaksir Gerak dan Arah Pembangunan Indonesia Timur”

Seminar Nasional Kebudayaan III

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya

 

Term of Reference (TOR)

“Menaksir Gerak dan Arah Pembangunan Indonesia Timur”

 

Wacana pembangunan wilayah Indonesia bagian Timur mulai menggema paling tidak pada awal 1990an setelah pemerintahan Orde Baru menaruh perhatian pada provinsi-provinsi yang mengalami keterlambatan pembangunan, menggantikan dikotomi inner-outer Indonesia sebelumnya. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro dan sentralistik dipandang lebih memajukan provinsi-provinsi di sebelah barat (Sumatera, Jawa, dan Bali) dan meninggalkan kawasan timur dalam lag pembangunan. Kebijakan percepatan pembangunan diimplementasikan pada “Kawasan Indonesia Timur”, termasuk Pulau Kalimantan di dalamnya, yang dilihat sebagai bagian dari “masalah-masalah pembangunan”. Lintasan pembangunan yang berbeda ini yang tampaknya menghasilkan batas kategori “Indonesia Timur” sebagai wilayah yang tertinggal dibanding Indonesia Barat hingga kini.

Era reformasi dengan desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya adalah upaya mengurangi ketimpangan pembangunan antara Indonesia Barat-Timur. Berbagai kebijakan dan produk hukum dihasilkan untuk mendorong kemandirian dan percepatan pembangunan Kawasan Indonesia Timur seperti Keppres Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (2000), UU Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur (KIT) (2004), Otonomi Khusus untuk Papua, dan sebagainya. Hari ini kita tahu bahwa slogan “membangun dari pinggiran” dari program Nawacita pemerintahan kini diarahkan pada wilayah Indonesia Timur. Melalui kebijakan terkait juga dapat diketahui garis batas imajiner Indonesia Timur ditegaskan kembali pada saat ini; KIT adalah semua wilayah di Indonesia selain wilayah Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali, dengan demikian adalah Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua (Perpres Nomor 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019).

Telah lebih dari dua dekade pasca reformasi pembangunan terhadap Indonesia Timur diupayakan. Ketimpangan pembangunan yang dihasilkan era Orde Baru sebelumnya dengan kebijakan bersifat sentralistik, indikator ekonomi makro, dan berfokus di bagian barat berupaya dievaluasi dan direorientasikan ke arah timur Indonesia. Pembangunan infrastruktur jalan Trans-Papua, Trans-Kalimantan, Trans-Sulawesi, bandara dan pelabuhan baru di berbagai sudut wilayah, tol laut, bendungan, jaringan komunikasi Palapa Ring sampai ujung Papua, infrastruktur pariwisata di NTT dan sebagainya bisa dikatakan hasil dari semangat ini.

Paradigma pembangunan sentralistik dan top-down telah direspon dengan kebijakan pembangunan yang besifat partisipatif yang juga sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Untuk memastikan bahwa masyarakat dapat berkembang secara demokratis, di Indonesia Timur pasca reformasi juga merayakan model pembangunan berbasis komunitas (community-based development) yang memposisikan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Metode “pemberdayaan masyarakat” menjadi jurus jitu dari berbagai pihak baik negara, akademisi, maupun organisasi masyarakat sipil lain dalam “upaya untuk memperbaiki” (Tania Murray Li, The Will to Improve, 2007) arah pembangunan di sana.

Model pembangunan baru tersebut berimplikasi lahirnya paradigma baru dalam melihat kebudayaan masyarakat lokal di Indonesia timur. Kebudayaan (dalam arti tradisional) dipandang sebagai modal dan sumber daya di masyarakat yang dapat menjamin kesuksesan pembangunan. Mengoptimaslisasi modal sosial budaya secara positif dianggap dapat berkorelasi dengan pembangunan ekonomi masyarakat serta melestarikan nilai-nilai lokal. Konsep orang Maluku mengenai pela gandong (persaudaraan antar marga dan antar kampung), masohi (tolong-menolong), budaya sasi (pelestarian lingkungan) misalnya diyakini mendorong partisipasi masyarakat dalam menghasilkan pembangunan ekonomi yang adil sekaligus menjadi peneguh solidaritas masyarakat ketika konflik muncul.

Pembangunan ekonomi sebelumnya juga bergantung pada eksploitasi sumber daya alam yang menegaskan perlunya paradigma pembangunan berwawasan lingkungan di Indonesia Timur. Di sisi lain banyak wilayah termiskin di Indonesia Timur yang memiliki sumber daya terbatas telah memberikan tekanan besar pada lingkungan dalam proses pembangunan. Di sini wacana mengenai pariwisata berbasis lingkungan (ekowisata) populer telah muncul di berbagai wilayah di Indonesia Timur seperti Radja Ampat, Pulau Komodo, dan berbagai wilayah lain. Fenomena ekowisata di Indonesia Timur berpotensi tidak hanya mengintegrasikan masyarakat lokal dengan pasar, namun juga berpotensi melahirkan kesadaran untuk merawat alam dan tradisi.

Namun demikian, meski era reformasi telah lama berjalan dan pembangunan Indonesia Timur terus diupayakan, kita masih melihat kesenjangan jika dibandingkan wilayah Indonesia lain. Kesenjangan dan ketertinggalan tersebut ternyata masih terjadi pada tataran klasik dan umum seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, pelayanan pemerintah, infrastruktur, maupun kesempatan kerja. Dari berbagai fakta di atas, tidak berlebihan jika kita membaca kembali apakah gerak pembangunan di Indonesia Timur sudah berjalan tepat? Di samping itu kita juga perlu menaksir ke mana seharusnya arah pembangunan di Indonesia Timur?

Seminar Nasional Kebudayan (SNK) III oleh Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya digelar dengan tema Membaca Gerak dan Menaksir Arah Pembangunan Indonesia Timur bertujuan untuk pertanyaan-pertanyaan kunci di atas, merefleksikan kembali tentang skema besar gerak pembangunan bangsa Indonesia yang berkeadilan.

Isu dan konsentrasi pembangunan pada Indonesia Timur kami yakin selalu relevan dan menarik perhatian banyak pihak baik nasional maupun internasional untuk melakukan kajian-kajian ilmiah, studi-studi kasus, dan semacamnya demi mendorong pembangunan di Indonesia Timur yang lebih baik dan bermartabat. Oleh karena itu, SNK III ini juga membuka ruang diskusi yang lebar bagi para pegiat dan pemerhati pembangunan di Indonesia Timur untuk ikut berpartisipasi memberikan sumbangan pikiran baik apa yang sudah dieksplor dan didiskusikan maupun apa yang sudah dilakukan untuk Indonesia Timur dalam tema-tema:

1.      Manusia, kebudayaan, dan keanekaragaman identitas

Wilayah ini memiliki tingkat keberagaman budaya (etnis, agama dan bahasa) yang sangat tinggi. Kelompok etnis mulai dari masyarakat suku terpencil di pegunungan Papua, pelaut dan pedagang Bugis di Sulawesi, dan pegawai pemerintah di Pulau Rote. Bentuk keagamaan juga berbeda dari satu tempat dan tempat yang lain; kepercayaan tradisional di Papua dan sebagian Nusa Tenggara, Islam di Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Lombok Barat, dan Nasrani di sebagian besar sisanya (Barlow, 1995:15). Keanekaragaman juga lahir dari karakter linguistik dan demografinya, serta dinamika migrasi manusia. Keanekaragaman identitas tersebut dapat menjadi berkah sekaligus tantangan bagi pembangunan di Indonesia Timur. Wilayah ini adalah sebuah wilayah penuh kompleksitas dan selalu dalam transisi (Fox, 2011:131).

2.      Pembangunan ekonomi, infrastuktur, dan penataan wilayah

Pembangunan fisik seperti jalan, pelabuhan, bandara, pasar, sekolah, tata kota, penataan wilayah dan sebagainya sebagai sarana prasarana memajukan Indonesia Timur telah digenjot oleh pemerintah hingga akhir-akhir ini. Hal-hal yang perlu dikaji kembali adalah apakah pembangunan fisik tersebut sudah tepat sasaran? Bagaimana dampak pembangunan tersebut terhadap kehidupan sosial budaya di masyarakat? Apakah terdapat gejala kemajuan ekonomi yang menguntungkan pihak tertentu dan mengeliminasi pihak lain? Dalam tema ini juga disinggung tentang situasi ekonomi baru di masyarkat yang dinamis karena perubahan sosial, globalisasi, dan kebijakan negara.

3.      Negara, kebijakan pembangunan, dan politik lokal

Sebuah pemahaman politik Indonesia Timur yakni adalah apresiasi terhadap hubungan aliansi kekerabatan dan komunitas kecil (klan). Di beberapa wilayah, relasi aliansi yang menyediakan pondasi organisasi sosial dan politik lokal di masa lalu masih bertahan setelah perubahan dalam administrasi negara yang formal (Fox, 1980:9-10). Saat ini, pada awal abad ke-21 ketika struktur administrasi Orde Baru telah digantikan oleh kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, banyak dinamika politik dan kebijakan pembangunan yang tidak bisa dilepaskan dari situasi politik lokal di Indonesia Timur, baik dalam konteks redistribusi manfaat pembangunan, ‘pemekaran’ administrasi lokal, korupsi, penegakan hukum, dan sebagainya.

4.      Pariwisata dan globalisasi

Setelah sekian lama menjadi “pinggiran”, perhatian global terhadap Indonesia Timur hadir kembali setelah wacana mengenai pelestarian lingkungan dan pencarian terhadap pengalaman budaya serta surga wisata meningkat (Bräuchler & Erb, 2011). Beberapa ahli menyatakan bahwa pembangunan Indonesia Timur melalui pariwisata adalah cara paling tepat karena selain terbatasnya sumber daya juga keindahan alam dan budayanya (Cole, 2008). Untuk menjamin manfaat dari pariwisata terhadap masyarakat lokal saat ini dikenal konsep seperti pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism), ekoturisme, wisata budaya, dan sebagainya. Namun, studi antropologis juga menunjukkan bahwa pariwisata adalah gejala imperialisme global baru yang menguatkan struktur marginalitas masyarakat Indonesia Timur. Untuk itu ruang tema ini membincangkan bagaimana model pariwisata yang tepat untuk menjadi katalisator pembangunan di Indonesia Timur.

5.      Konflik dan integrasi dalam pembangunan

Konflik telah menjadi salah satu hambatan utama bagi pembangunan di Indonesia timur. Di samping itu, konflik itu sendiri lahir dari ekses pembangunan yang menghasilkan ketimpangan sebelumnya. Baik Maluku maupun Papua telah menyaksikan episode-episode kekerasan yang sangat mengganggu stabilitas sosial dan dan integrasi nasional. Dalam skala yang lebih kecil, sebagian Nusa Tenggara Timur juga telah terkena dampak langsung dari konflik di Timor Timur. Wilayah Maluku dan Sulawesi yang menjadi area yang traumatis tentang memori kekerasan sosial berlatar belakang agama. Di sisi lain, banyak juga daerah di wilayah Indonesia Timur yang dapat menjadi contoh keharmonisan antar kelompok masyarakat yang dapat menjadi modal integrasi nasional dalam pembangunan.

6.      Pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup

Indonesia Timur telah lama melambangkan masalah pembangunan di Indonesia (the problems of development), dengan daerah yang memiliki pendapatan lebih rendah, kemiskinan yang lebih tinggi, dan indikator sosial yang lebih buruk daripada kebanyakan daerah lain di Indonesia. Wilayah ini pada umumnya tertinggal di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, pelayanan pemerintah, infrastruktur, kesempatan kerja. Universitas, rumah sakit, selalu tersedia dengan baik di Jawa dibanding pulau luarnya. Pada pembangunan terkini, apakah kondisi ini telah berubah atau tambah buruk? Bagaimana paradigma pembangunan terbaru membuka akses lebih besar pada orang Indonesia Timur terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Apakah kualitas hidup mereka secara umum sudah meningkat?

 

Keynote Speakers

1.      Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro, S.E., M.U.P., Ph.D.

Menteri PPN/Bappenas

(dalam konfirmasi)

2.      Viktor B. Laiskodat S.H., M.Kn.

Gubernur Nusa Tenggara Timur

(dalam konfirmasi)

3.       Prof. Dr. P.M. Laksono, M.A.

Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada

4.      Hatib Abdul Kadir, M.A., Ph.D.

Antropolog Universitas Brawijaya

 

Tanggal-tanggal penting

No Kegiatan Waktu
1 Batas akhir pengumpulan Abstrak 31 Juli 2019 (DIPERPANJANG)
2 Pengumuman Abstrak 12 Agustus 2019
3 Batas akhir pengumpulan Full Paper 13 September 2019
4 Pelaksanaan Seminar Nasional Kebudayaan III 16 Oktober 2019

 

Lokasi Kegiatan

Gedung Widyaloka, Universtas Brawijaya, Malang, Jawa Timur

Unduh Format Abstrak dan Fullpaper

Abstrak [Link]

Fullpaper [Link]

Pengumpulan Abstrak [link]

Registrasi [link]

Pengumpulan Fullpaper [LINK]

Kontribusi Seminar

  1. Pemakalah                   : Rp. 350.000
  2. Peserta umum              : Rp. 250.000
  3. Mahasiswa                  : Rp. 100.000

Transfer ke rekening BRI

a.n. Siti Zurinani

Nomor Rekening 005101143826506

Narahubung:

Nindyo B. Kumoro (Doni)

08125309004 (WhatsApp)

[email protected]