Nilai Budaya Tidak Akan Mati
Budaya tidak akan pernah hilang, karena dalam falsafahnya terdapat “Jiwa Kang Kajawi”, artinya setiap orang punya jiwa yang terekspresikan sebagai identitas.
Wibie Mahardika, Budayawan asal Malang mengatakan bahwa budaya bukan sesuatu yang statis, melainkan selalu berkembang setiap saat. Meskipun wujudnya berbeda, namun nilai aslinya tidak akan pernah hilang.
“Wajar jika anak muda belajar banyak hal, termasuk kesenian modern. Tidak perlu khawatir terjadi pergeseran, yang penting nilai asli itu ada dan tidak boleh hilang meskipun zaman berganti,” kata Wibie Mahardika.
Alumni Filsafat Universitas Gajah Mada itu meyakini bahwa budaya apapun, termasuk Budaya Jawa tidak akan pernah hilang. Dalam falsafahnya, terdapat “Jiwa Kang Kajawi”, artinya setiap orang punya jiwa yang terekspresikan sebagai identitas.
Salah satu upaya agar generasi modern bisa menerima budaya tradisional tanpa menganggapnya sebagai hal kuno, yaitu dengan memadu padankan kesenian modern dengan tradisional. Banyak kekhawatiran yang timbul karena takut nilai asli yang ingin disampaikan leluhur bisa menghilang.
Menanggapi hal tersebut, Wibie mengatakan bahwa tidak akan ada yang hilang selama nilai asli yang ingin disampaikan, disematkan di dalamnya. Misalnya saja, tari tradisional dengan menggunakan baju kasual. Atau padu padan tari modern dengan tradisional, tidak menggunakan tari erotis sebagai selingan.
Tantangan budaya di era modern bukan pada pewarisan wujud atau gerakan, melainkan dalam hal mewariskan sebuah budaya dalam nilai dan makna aslinya. Inilah yang sering dilupakan oleh masyarakat bahwa orientasi seni budaya bukanlah hal berbau materi melainkan kesenangan yang memurnikan jiwa dan raga.
Seni budaya di Indonesia layaknya ekspresi jati diri dan menjadi identitas. Sehingga jika budaya itu hilang dan punah di suatu generasi, maka pada generasi berikutnya dipastikan akan kehilangan sebuah simbol atau nama yang tidak bisa menjadi tanda pengenal. “Apabila seseorang tumbuh tanpa nama apa jadinya? Mau dipanggil apa,” pungkas Wibie
Sementara itu, akademisi Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, Ketua Jurusan Antropologi, Universitas Brawijaya, Malang, menjelaskan bahwa setiap budaya itu merupakan capaian terbaik bangsa manusia pada masanya. Ketika berbicara tentang kebudayaan, kita tidak sekedar berbicara tentang tampilan, wujud, dan gerak, tetapi yang utama adalah nilai hidup yang ingin disampaikan lewat budaya-budaya itu.
Ia menambahkan, jika dikatakan ada pergeseran, hal itu kurang tepat karena millenial atau generasi muda sekarang memiliki situasi yang berbeda di mana mereka juga sedang membentuk budayanya sendiri. Hal ini tidak bisa menjadi indikator adanya pergeseran nilai budaya karena mereka memiliki nilai baru untuk generasinya. Bahwa ada nilai-nilai yang perlu diwarisi dari budaya tradisional, itu pekerjaan dan tanggungjawab bersama untuk melakukan proses transfer nilai.
Selama ini, banyak orang membandingkan generasi lama dengan generasi baru dalam segala hal termasuk budaya. Menurut Dosen asal NTT ini, hal itu boleh saja terjadi, tetapi perlu diingat bahwa setiap masa dan generasinya berhak memiliki ikon yang berbeda sebagai penanda budaya zamannya.
Permasalahan yang sering diributkan, jelasnya, antara budaya milineal yang modern dengan budaya tradisional dari leluhur adalah tentang persoalan transfer nilai. Nilai baik di masa lalu acapkali tidak ditransfer dengan baik kepada generasi muda.
“Menurut saya, generasi milineal sekarang sedang berjuang membangun budayanya yang khas pada situasi global saat ini. Hal yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana kita mampu melakukan transfer nilai dan bukan sekedar transfer wujud budaya. Kalau kita membangun pola pikir semacam ini, mungkin itulah yang menimbulkan kesan adanya pergeseran budaya,” tegas Hipolitus.
Budaya tradisional selalu dilihat dengan nilai yang lebih berbobot dan lebih baik, bukan tanpa alasan. Zaman dulu, budaya tradisional dibangun dengan upayanya sendiri. Sedangkan, kaum milineal sekarang membangun budayanya dengan mengkombinasi dari segala hal, seperti media sosial atau internet yang begitu luas, sehingga manusia tidak lagi menjadi diri sendiri.
Generasi sekarang tidak berjuang menciptakan nilainya sendiri, tetapi hanya mengadopsi nilai yang mereka temukan dari orang lain. Hal ini bertentangan dengan makna budaya itu sendiri sebagai bagian dari identitas yang khas dan murni sebagai wujud jati diri.
Contoh sederhana adalah orang yang menyandang nama suku. Misalnya Suku Jawa, banyak di antara mereka yang tidak bisa berbahasa Jawa sesuai dengan unggah ungguh seperti Bahasa Jawa alus atau krama inggil.
“Misalnya seseorang yang lahir dan hidup sebagai orang Jawa, dalam kenyataanya dia sesungguhnya sudah otomatis bercampur dengan budaya lain dalam komunikasi dan pertemuan dengan orang berbudaya lain,” lanjutnya.
Apabila dilihat dari perilaku sopan santun, mungkin mereka bisa karena adanya tata krama yang memang dibentuk dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sosialnya. Tetapi dalam banyak hal, hal-hal itu tidak terjadi. Misalnya, anak muda asli Suku Jawa saat ini tidak lagi bisa berbahasa Jawa sebagai salah satu identitas khas orang Jawa.
Menurutnya, memang tidak bisa dipungkiri jika budaya akan terus berkembang. Karena, budaya bukan sesuatu yang mati. Namun, perlu digarisbawahi bahwa adanya perkembangan budaya dalam bentuk wujud tidak boleh meninggalkan nilai aslinya.
“Nilai itu sesuatu yang tetap. Kita harus baik, tidak peduli apapun dan bagaimana zaman berubah, nilai baik harus tetap ada,” tambah Hipolitus.
Menurut Hipo, keadaan ini semakin diperparah oleh proses belajar mengajar yang tidak berorientasi pada substansi apa yang diajarkan, melainkan hanya sebatas formalitas. Anak-anak merasa bahwa untuk menerima nilai budaya hanya sebatas mengetahui tanpa ada rasa membutuhkan.
“Saat ini, di hadapan anak-anak disuguhkan nilai tradisi sebagai hal-hal yang kuno dan antik, sehingga mereka hanya sebatas tahu tetapi tidak diterima dan diterapkan sebagai hal yang penting dalam hidup,” kata dia.
Oleh: Azizatul Nur Imamah – 4 November 2021
Sumber: Getradius.id