Mengupas Kembali Makna dan Peran NKRI dalam Indonesia yang Multikultural
Sesuai dengan judul tersebut, acara Dialog Etnografi 2019 yang merupakan program kerja dari divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) HIMA Antropologi budaya ini mengangkat tema mengenai bagaimana generasi milenial sebagai orang Indonesia memaknai peran NKRI dalam Indonesia yang multikultural. Kita sama-sama tahu bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagamannya, baik itu keberagaman ras, suku, etnis, bahasa, bahkan agama. Jadi tidak heran jika ada yang memunculkan ekspektasi terhadap Indonesia yang satu, mahir dalam mengelola konflik, dan hidup tentram dalam kesatuan. Namun, apakah benar demikian? Melihat banyak bermunculan isu di mana beberapa daerah bagian pernah ingin melepaskan diri dari NKRI, misalnya seperti Bali, Makassar, Minahasa, Minangkabau, Kalimantan, Aceh, Papua Barat, Riau, Maluku, dan Yogyakarta, serta Timor-Timor yang telah resmi membentuk negara sendiri.

Acara ini diselenggarakan Rabu, 11 September 2019 yang bertempat di Aula Gedung B Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya pada pukul 18.30 WIB. Seusai dibuka dengan penampilan dari Teater Hening dan sambutan ketua pelaksana, dilanjut penyampaian bahan diskusi oleh Franciscus Apriawan M.A. selaku dosen Antropologi, Achmad Nur Fajar Alam Yuda S.Sos. sebagai pemantik dan Iqbal Addiqri sebagai moderator. Hal utama yang menjadi sorotan dalam diskusi adalah bagaimana kita memahami rasa kebangsaan. Bahwa kebangsaan mengacu pada tanah air yang memproyeksikan kita terikat secara alamiah pada hal-hal kodrati, yang melekat sejak lahir hingga mati. Secara antropologi, suatu bangsa dapat dilihat melalui komunitas. Bahwasanya bangsa lahir akibat modernisasi dan teknologi, yang melalui media bahasa dapat menciptakan solidaritas. Selain itu, melalui pembayangan juga dapat memunculkan rasa solidaritas karena ada perasaan senasib dengan orang lain. Di samping itu, Apriwan juga menekankan bahwa kebangsaan ini tidak hanya dimiliki oleh para elit tapi juga masyarakat pinggiran. Dengan kata lain, jika merujuk pada pembangunan maka tidak hanya berfokus pada proses politik semata, tetapi juga karena perjuangan dari masyarakat pinggiran dalam menciptakan kebangsaan. Menghidupkan komunitas bersama tidak harus dari pusat pemerintah, dari bawah atau pinggiran pun sejatinya juga dibutuhkan.
Terkadang nasionalisme atau rasa kebangsaan ini sering disandingkan dengan rasisme, yang sama-sama diyakini dan harus dilindungi. Sayangnya, sampai sekarang kebangsaan cenderung dimaknai atas dasar kekerabatan dan hubungan darah. Makanya tidak heran jika hal ini menimbulkan sikap rasisme karena adanya anggapan bahwa orang lain berbeda dengan dirinya. Padahal untuk membuat komunitas atau bangsa yang lebih besar, varian yang berbeda sangat dibutuhkan di samping faktor bagaimana kita melihat kebangsaan itu sendiri.

Lalu, bagaimana kita memahami Indonesia yang multikultural? Bagaimana ideologi dibutuhkan dalam keadaan dunia yang sekarang ini? Bagaimana globalisasi memengaruhi suatu negara? Dan bagaimana Indonesia masih dianggap penting? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sebagai tanggapan dari diskusi sebelumnya. Pertama, pemahaman multikultural ini dapat dimunculkan dari pertukaran pengalaman dari masing-masing orang di dalam suatu ruang yang sama. Ruang di sini merujuk pada ruang-ruang diskusi, seperti acara Dialog Etnografi ini. Karena dengan adanya komunikasi di dalam ruang diskusi inilah dapat tercipta relasi dan solidaritas. Sayangnya, ruang-ruang ini yang sekarang sulit untuk ditemui. Kedua, ideologi sejatinya menjadi hal yang penting sebagai pegangan dalam menghadapi globalisasi. Agar tidak mudah terdegradasi. Memang ideologi tidak hanya bersumber dari unsur lokal atau internal, dibutuhkan unsur-unsur eksternal untuk dapat membantu dalam beradaptasi. Jika diibaratkan, hidup akan terasa kurang kalau tidak ada prinsip, begitu juga dengan negara, akan terasa tidak lengkap jika tidak ada ideologi. Dengan kata lain, ideologi adalah jembatan untuk segala aspek. Ketiga, sekarang kita hidup di dunia di mana batas-batas antar negara mulai melunak karena adanya globalisasi. Artinya kita tidak lagi harus menutup diri dari pengaruh eksternal, tapi lebih kepada membangun diri. Toleransi sangat dibutuhkan di sini untuk dapat merekonstruksi mental individu. Karena apa yang kita lakukan, pasti akan berdampak kepada orang lain. Keempat, konsep bangsa dan negara adalah dua hal yang berbeda. Karena bangsa dapat dibangun dari bawah dari hal-hal sederhana yang kita lakukan sehari-hari. Jika memang terjadi ketimpangan, keduanya harus diseimbangkan. Karena sejatinya Indonesia dibangun bukan atas dasar kepentingan negara, tapi lebih kepada kepentingan bangsa-bangsa. Pada akhirnya sampailah pada suatu sikap ‘Jangan hanya numpang hidup di NKRI, tapi bagaimana menghidupi hidup NKRI.’. Acara diskusi ini ditutup dengan menyanyikan lagu ‘Ibu Pertiwi’ bersama-sama sembari mengangkat bendera merah putih. Sebagai representasi bahwa ibu pertiwi bersedih karena merasakan isu-isu NKRI. (NikenD/Kei/Myg)