Melihat Kesuksesan KABARI: Cerita Antropolog tentang Tantangan Dunia Penelitian

Sabtu (01/06), Fakultas Ilmu Budaya Gedung B di Universitas Brawijaya menjadi lokasi diselenggarakannya Kelas Pengembangan Diri (KABARI) oleh PSDM HIMANTARA. Acara ini bertajuk Becoming a Digital Detective: Uncovering Market Research Data From Media. Sebelum dimulai, para peserta disuguhkan dengan penampilan tari tradisional yang diselenggarakan oleh divisi ORSEN HIMANTARA. Ketua Program Studi Antropologi, Bapak Nindyo Budi Kumoro, S.Ant, M.A., atau yang akrab disapa Bapak Doni, turut hadir untuk meresmikan acara ini.
Pemateri dalam seminar pengembangan diri tersebut adalah Bapak Franciscus Apriawan, S.Ant, M.A., seorang dosen Antropologi dari Universitas Brawijaya yang sering disapa Pak Frans atau Pak Iwan. Lulusan Antropologi dari Universitas Gadjah Mada ini telah menjalani perjalanan panjang dalam dunia media dan riset pasar sejak di bangku perkuliahan. Ketidakpahaman terhadap proses pengambilan data menjadi tantangan utama baginya. Namun, kecintaannya terhadap bidang tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk terus menjelajahi dunia penelitian dan mengatasi rintangan-rintangan yang ada.
Peran aktif sangat ditekankan oleh Pak Frans sebagai kunci keberhasilan dalam melakukan riset. Aktivitas berpikir secara komprehensif, menggunakan kelima indrawi, dan menelusuri kepekaan pada diri sendiri menjadi bagian integral dari proses riset. Hal ini memungkinkan seorang peneliti untuk menghasilkan pemahaman baru yang bernilai dan dapat menjadi bahan diskusi yang berarti dalam forum penelitian. Kesadaran akan ketidakpahaman terhadap proses tersebut mendorong Pak Frans untuk terus mengembangkan potensinya agar dapat berkembang secara optimal.
Pak Frans berbagi delapan pengalaman menariknya kepada audiens, menceritakan perjalanannya sebagai asisten peneliti dan peneliti di ranah pasar digital. Perjalanan tersebut tidak selalu berjalan mulus, banyak pijakan batu yang mengharuskan Pak Frans untuk mencari jalan alternatif. Melalui perjalanan yang beragam, Pak Frans membagikan pengalamannya yang menakjubkan sebagai seorang peneliti. Dari menjadi seorang Enumerator untuk Motorola hingga menjadi peneliti untuk perusahaan-perusahaan ternama seperti Tropicana Slim dan Yanmar, ia telah menyusuri berbagai sudut yang berbeda dalam dunia riset pasar-media. Salah satu momen penting adalah saat ia memotret kebutuhan nelayan di Kutai untuk Yanmar, sebuah pengalaman yang mengharuskannya menempuh perjalanan yang panjang dan sulit. Namun, di balik tantangan yang dihadapinya, Pak Frans selalu menemukan insight berharga.

Tak hanya itu, pengalamannya juga mencakup riset yang menarik, seperti memahami persepsi tentang gaya hidup sehat untuk Tropicana Slim dan mengobservasi kebutuhan pengendara truk terhadap provider komunikasi. Di samping itu, ia juga turut memetakan desa wisata di Jawa untuk aplikasi wisata bagi Traveler Asia. “Saya itu seperti seekor lalat di sebuah mangkuk sup.” sebuah kalimat yang terucap dari mulut Pak Frans menganalogikan dirinya ketika menjadi seorang asisten peneliti untuk mencari objek dalam persepsi gaya hidup sehat oleh Tropicana Slim. Fokus utamanya adalah kalangan kelas atas, untuk melihat bagaimana pemegang kekuasaan memandang gaya hidup sehat. Analogi tersebut mencerminkan perasaan Pak Frans yang sering kali merasa mengganggu kalangan elit dengan penelitiannya. “Peneliti harus disadari oleh orang bahwa ia sedang diteliti.” Ujarnya lagi, menekankan bahwa sebagai peneliti, penting bagi orang untuk menyadari bahwa mereka sedang menjadi objek penelitian.
Forum seminar KABARI kali ini secara komprehensif membahas pentingnya pengumpulan, analisis, dan penafsiran data dalam riset pasar. Sebagai mahasiswa antropologi, kehadiran dalam seminar semacam ini sangat membantu dalam memahami bagaimana budaya digital mempengaruhi individu, mulai dari pembentukan persepsi yang menjadi dasar untuk memahami suatu objek yang dapat terkait dengan subjek, hingga situasi yang kompleks yang dihadapi oleh pengguna media digital. Pak Doni mengungkapkan bahwa peneliti dari antropologi dan disiplin lainnya membutuhkan pendekatan antropologi dalam riset pasar, karena saat ini banyak pekerjaan di bidang pemasaran digital yang memanfaatkan alat dan pendekatan dari antropologi. “Kebutuhan peneliti dari antropologi dan prodi lain pada market research membutuhkan pendekatan Antropologi. Karena pada saat ini sudah banyak pekerjaan market digital yang membutuhkan tools dari Antropologi.” ujar beliau.
Penyampaian materi dibawakan dengan santai dan komunikatif. Dikemas dengan bahasa yang mudah audiens pahami, membuat seminar ini berlangsung tanpa terasa sudah berada di sesi tanya jawab. Saat sesi tanya jawab dimulai, tiga tangan dengan cepat mengacung tinggi. Salah satu peserta bertanya, “Saya mau nanya bapak terkait cara bapak beradaptasi dan survive di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh banyak orang seperti di tengah hutan atau di desa-desa yang sulit dijamah dalam akses transportasi? Karena mungkin teman-teman disini dan saya sendiri pun memiliki perasaan yang sulit dalam beradaptasi di lingkungan baru, apalagi sampai harus survive di lingkungan yang tidak biasa bagi kita.”
Pak Frans menjelaskan bahwa ada banyak tahapan yang harus dilewati dalam riset, dan tidak selalu harus terjun langsung ke lapangan yang ekstrem pada awalnya. “Ada banyak proses yang harus dilalui, dalam penelitian awal tidak harus terjun di lapangan yang ekstrim. Kita harus mampu mengukur kesiapan diri sendiri ketika hendak melakukan riset.” jawabnya. Pak Frans juga tidak menutup-nutupi tantangan yang dihadapinya. Ia mengaku bahwa ada tiga hal yang cukup sulit baginya, yaitu menjaga pola tidur agar fleksibel, memperoleh makanan yang cukup, dan mencari tempat buang air besar “Selain itu, lebih enak melakukan penelitian berkelompok agar memiliki teman,” lanjut Pak Frans.
Sesi tanya jawab berlangsung dengan penuh semangat dan memberikan wawasan yang dalam. Ketika acara hampir berakhir, bukan kata pamit yang keluar dari mulut pemantik acara. Sebaliknya, mereka mengajak kami untuk berkumpul dan mengadakan Focus Group Discussion (FGD). Langkah ini merupakan terobosan baru dari KABARI dalam membuat acara menjadi lebih interaktif dan tidak sekadar pasif antara pemateri dan audiens. Melalui FGD, interaksi antar peserta yang mungkin belum saling kenal menjadi terjalin, memaksa mereka untuk berdiskusi mengenai studi kasus yang diberikan. Pendekatan ini berhasil membentuk ikatan baru antara peserta melalui diskusi yang intens dalam pengembangan diri ini. Lebih dari itu, FGD memungkinkan penyelesaian masalah langsung diterapkan melalui studi kasus yang dihadirkan, memaksa peserta untuk berpikir kritis. Pendekatan seperti ini seharusnya diadopsi dalam acara-acara lainnya, sehingga peserta tidak hanya mendengarkan informasi, tetapi benar-benar memperoleh wawasan baru yang bisa mereka terapkan.
