LAYAR TANCEP 2019
Himpunan Mahasiswa Antropologi Brawijaya (HIMANTARA) pada tanggal 5 Maret 2019 lalu berhasil mengadakan agenda tahunan Layar Tancep. Pada tahun 2019 ini tema yang diangkat adalah kekerasan seksual perempuan yang dialami oleh buruh pabrik garmen. Pemutaran film yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi dua arah ini berjudul ‘Angka Jadi Suara’.
Acara diawali dengan pemutaran film dokumenter yang mengisahkan tentang para buruh perempuan di wilayah pabrik KBN Cakung, Jakarta Utara. Seorang narasumber yang disembunyikan identitasnya menceritakan kembali pengalaman traumatisnya ketika bekerja sebagai ‘helping’ pabrik garmen tersebut. sambil terisak dia menceritakan dengan rinci bagaimana para buruh pabrik ini dilecehkan oleh mechanic bahkan personalia pabrik. Beberapa buruh perempuan lainnya dengan terbuka menceritakan pengalaman mereka mengenai kekerasan dan pelecehan seksual di pabrik. Pesera Layar Tancep fokus mengikuti alur film dan sesekali bereaksi ketika para buruh ini menceritakan pengalaman mereka maupun melihat rapat dengan petinggi pabrik yang kurang mengetahui tentang insiden kekerasan seksual ini.
Film ini membuka mata peserta bahwa kekerasan seksual benar adanya dan bukan sekadar kabar burung beserta ‘katanya’. Perjuangan komunitas perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara hukum membuka fakta dan data berapa banyak kekerasan seksual yang selama ini dialami oleh buruh perempuan namun tidak diketahui oleh masyarakat luas. Acara kemudian dilanjutkan dengan penyampaian pendapat mengenai permasalahan ini oleh dosen antropologi UB. Pemateri yang berkesempatan menyampaikan pendapatnya melalui sudut pandang antropologi adalah Nindyo Budi Kumoro, M.A.
Doni -begitu Ia akrab dipanggil- mengawali materi dengan pertanyaan sederhana “bagaimana kekerasan seksual ini bisa terjadi?“. Menurutnya permasalahan mengenai kekerasan seksual dapat dirangkum pada dua hal, yaitu patriarki dan pelecehan seksual. Patriarki menyebabkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Patriarki bermula ketika manusia mulai menetap dan mengenal sistem berburu dan meramu. Pada tahap ini perempuan yang dulunya memegang alat produksi mulai mengalami domestifikasi. Mereka hanya diam di rumah sedangkan para laki-lakinya berburu mangsa dan menguasai alat produksi. Dari sini peran perempuan hanya pada bidang-bidang yang memerlukan ketelitian dan bukannya tenaga besar seperti laki-laki. Ketimpangan ini mulai menyeluruh pada lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti agama, hukum, pendidikan, dan adat. Sehingga sistem patriarki bertahan hingga gender mulai dikenal oleh masyarakat.
Masa agraris berganti dengan masa industrialisasi dimana perempuan berubah lagi perannya. Perempuan yang dulunya bekerja pada bidang-bidang yang membutuhkan tingkat ketelitian tinggi seperti memanen menggunakan ani-ani atau menabur binih, kini harus urbanisasi dan bekerja pada bidang yang tidak dikuasainya. Oleh karena kebanyakan perempuan pada masa itu tidak mengenyam bangku pendidikan formal, maka mereka ditempatkan pada bagian produksi yang tidak membutuhkan keahlian khusus, upah tinggi, dan profesionalitas. Sedangkan laki-laki ditempatkan pada posisi-posisi penting seperti pemimpin perusahaan atau bagian produksi yang membutuhkan skill tinggi. Secara kasar dapat dikatakan bahwa perempuan menjadi alat produksi laki-laki. Disebabkan oleh sistem yang membudaya, perempuan dikenal sebagai makhluk lemah yang membutuhkan perlindungan dan naasnya perempuan ini mengamininya. Maka istilah ‘kodrat perempuan’ akrab di telinga masyarakat.
Mas Doni secara singkat juga menerangkan mekanisme budaya dan mekanisme biologis yang membuat manusia berbeda dengan hewan ketika melakukan hubungan seksual. Hal ini pula yang membuat hubungan seksual manusia menjadi privat dan tidak boleh diketahui orang lain. Pelecehan seksual terjadi ketika manusia menolak mengatakan ‘iya’ ketika diajak melakukan hubungan seksual. Kekerasan seksual terjadi ketika seorang laki-laki memaksa perempuan melakukan hubungan seksual padahal perempuannya telah menolak. Hal inilah yang dialami oleh buruh perempuan KBN Cakung.
Mengapa pada masalah seserius ini masih banyak yang kurang aware? Melalui film tersebut dapat diambil jawaban bahwa para korban takut menyuarakan hal yang dialaminya. Selain itu kultural dan struktural masih bermasalah. Kultural yang dimaksudkan adalah sistem patriarki yang telah dijelaskan diatas, sedangkan struktural adalah permasalahan pada sistem hukum negara. Hal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan ini antara lain adalah dengan merekontruksi sistem dan perlu adanya gender ekstrim. Gender ekstrim dilakukan dengan cara menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh korban kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut pula yang sedang digalakkan oleh komunitas perempuan buruh pabrik. Komunitas ini mengkampanyekan, memberi kekuatan, dan memantik keberanian para buruh perempuan pabrik lainnya untuk menolak tegas apabila mengalami pelecehan atau tindak kekerasan seksual.
Setelah materi dan tanggapan disampaikan, moderator membuka sesi tanya jawab dan diskusi dua arah. Peserta dapat memberikan pertanyaan, pernyataan, dan tanggapan atas hal yang disampaikan oleh pemateri atau terkait film yang telah ditayangkan. Melalui sesi ini dapat diketahui bahwa yang hadir pada Layar Tancep bukan hanya mahasiswa antropologi UB dan FIB UB, namun ada mahasiswa dari Fakultas Hukum, Ilmu Sosiologi, Ilmu Psikologi, bahkan Universitas lain. (Keiko)