Kekerasan Berbasis Gender pada Perempuan Pekerja dari Perspektif Gender Equality dan Social Inclusion (GESI)

Visiting profesor dan praktisi merupakan program 3 in 1 yang dirancang untuk mengembangkan Mata Kuliah Tubuh, Gender, dan Seksualitas dengan tema “Memahami Konteks Gender Based Violence dan Relasi Kuasa dalam Fenomena Sosial Budaya”. Dalam pelaksanaanya didukung proses pembelajaran di dalam kelas dengan mendatangkan dan melibatkan profesor asing dan praktisi dalam bidang yang relevan. Dengan harapan dapat memberikan masukan dan memperkaya mahasiswa dalam perkuliahan. Program 3 in 1 terbagi menjadi dua sesi dengan enam kali pertemuan. Pada sesi pertama, materi dibawakan oleh oleh praktisi yaitu Dr. Ir. Arianti Ina Restiani Hunga, M.Si atau lebih dikenal sebagai Ina Hunga.

Pertemuan pertama dilaksanakan pada Jumat (3/09) dengan tema pembahasan Gender Based Violence pada Wanita Pekerja. Hal ini didasarkan pada kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus melonjak. Sepanjang tahun 2019, Indonesia darurat terhadap kekerasan perempuan dengan 431.471 kasus yang tercatat. Maka diperlukan berbagai upaya untuk meminimalisirnya. Salah satunya dengan mendorong DPR untuk mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual. Banyak sekali korban kasus pelecehan seksual yang tidak berani untuk berbicara karena adanya relasi kuasa (korban takut dirugikan atau bahkan dipecat bagi perempuan yang bekerja). Namun sebenarnya bentuk kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berupa pelecehan seksual, tetapi juga bagi buruh hamil yang di tempat kerjanya tidak diperlakukan semestinya, seperti masih adanya kerja lembur, waktu istirahat yang kurang, dan sebagainya. Jumlah kasus buruh hamil yang mengalami keguguran meningkat karena tidak mendapatkan haknya tersebut. Hal seperti ini juga dapat dikatakan bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan ini dapat terjadi dimana-dimana, seperti tempat tinggal, tempat kerja, tempat pendidikan, dan tempat umum. Sekarang ini, tempat tinggal yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman, berubah menjadi tempat dimana kekerasan sering terjadi. Sebenarnya lingkungan kita belum ramah gender terutama terhadap perempuan, mulailah untuk sadar diri atau sadar akan hal-hal atau isu-isu terkait gender. Jangan menutup diri dari feminis, karena itulah yang bisa membuat “roti yang enak dan membangun rumah yang bagus”, karena itu dasarnya. [NKH/HIMANTARA/ANT]