Diskusi Daring HIMANTARA: Menelisik Akar Pemikiran Rasisme dalam Kacamata Antropologi

Dunia belum pulih dari luka akibat hantaman pandemi Covid-19 yang menguji suatu bangsa. Kini, dunia kembali digegerkan dengan kasus rasisme atas kematian George Floyd, seorang warga negara berkulit hitam, Amerika Serikat. Melalui situs kompas.com disebutkan bahwa kematian George Floyd yang terjadi di Minneapolis, Amerika dianggap sebagai salah satu bentuk bengisnya tindakan rasisme di dunia. Berkaca melalui kasus rasisme di Amerika Serikat, tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini praktik ‘rasisme’ masih melekat di Indonesia. Rasisme seakan tak mau hilang meski terus diperjuangkan dan dibela mati-matian.

Menanggapi dilematis kondisi sosial tersebut, Himpunan Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya 2019/ 2020 sepakat membawanya dalam ruang diskusi forum “Antro Talks” atau mereka sebut dengan istilah “Diskusi Daring HIMANTARA”. Diskusi Daring HIMANTARA merupakan program kerja divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) yang dilaksanakan pada Senin, 22 Juni 2020. Diskusi Daring HIMANTARA menjadi forum untuk memandang serta memahami isu rasisme dari berbagai perspektif, terutama memaknai istilah rasisme melalui cara berpikir ilmu Antropologi. Meski dilaksanakan secara daring, kegiatan tersebut diharapkan mampu menciptakan ruang diskusi serta edukasi bagi audience tentang persoalan-persoalan rasisme di dunia.

Kegiatan Diskusi Daring HIMANTARA diikuti oleh mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya dan masyarakat umum. Di samping itu, kegiatan Diskusi Daring HIMANTARA melibatkan salah satu dosen Antropologi Universitas Brawijaya sebagai pemateri dalam diskusi, Hatib Abdul Kadir, P.Hd atau yang memiliki sapaan akrab “Pak Hatib”. Rasisme merupakan bentuk konstruksi budaya dan telah ada pada saat sejarah perbudakan dimulai. “Rasisme akan menjadi masalah diskriminasi, ketika hal itu bersifat sangat sistematis”, tegas Pak Hatib. Pada akhir diskusi, audience diajak untuk berpikir bahwa kebhinekaan yang hakiki ialah dia yang mampu menoleransi perbedaan-perbedaan bersifat asali. Jika memang ingin Indonesia utuh, maka tidak boleh ada kejahatan yang tersentuh. “Bertemanlah dan perluas hubungan dengan siapapun, dengan ras apapun, karena itu akan memperkaya kalian”, imbuh Pak Hatib menutup diskusi. [TA/KKN-M/ANT]