Divisi PSDM Himpunan Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya Menyelenggarakan Bincang-bincang Tentang Seni Mural

Pada Sabtu (4/09), Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dari Himpunan Mahasiswa Antropologi (HIMANTARA) Universitas Brawijaya mengadakan talkshow daring Dialog Etnografi dengan membawa tema yang sedang hangat diperbincangkan yaitu “Multitafsir Seni Mural, Ekspresi Sosial atau Tindakan Kriminal?”. Talkshow ini dilaksanakan melalui platform Zoom meeting pada pukul 14.00 WIB. Dalam Dialog Etnografi kali ini dipimpin oleh Bagas Purna Atmaja selaku moderator dengan mengundang dua narasumber, Manggala Ismanto S. Ant., MA selaku dosen Antropologi Universitas Brawijaya dan Andang Kelana selaku Direktur Visual Jalanan.

Dialog Etnografi sendiri adalah sebuah acara yang dikemas dalam bentuk talkshow agar para peserta tidak hanya mendapatkan insight baru tapi juga dapat memahami, mengetahui, dan lebih peka terhadap isu-isu sosial budaya di sekitar, khususnya yang terjadi di Indonesia. Selain itu dialog etnografi juga memiliki tujuan untuk mengedukasi sehingga dapat memberikan insight baru bagi para peserta mengenai ilmu antropologi. Tema yang dibahas dalam talkshow ini diambil dari isu yang sedang hangat diperbincangkan di Indonesia saat ini, terkait penghapusan mural yang mirip dengan wajah Presiden dengan tulisan 404 not found.

Narasumber pertama memulai pembahasan dengan menjelaskan sejarah dari mural. Kata mural sendiri adalah kata sifat yang berasal dari bahasa Spanyol dan digunakan pada apa yang melekat pada dinding. Mural masa kini lebih dikenal sebagai karya seni yang dilukis atau diaplikasikan secara langsung di dinding, langit-langit, atau permukaan permanen lainnya. Mas Andang sendiri memiliki pendapat bahwa kebebasan berekspresi adalah hal yang penting. Suatu mural dapat memuat kritik yang tersirat dan sebenarnya mural adalah salah satu bentuk dari kritik dengan cara cepat. Tidak jarang kita menemui mural di tempat-tempat tertentu yang biasanya dapat dilihat oleh banyak orang.

Selanjutnya narasumber kedua membahas tentang mural, perebutan ruang dan ekspresi politik. Biasanya seniman mural memiliki beberapa karakter yaitu menjadikan jalan sebagai media untuk menyampaikan pesan, sebagian besar seniman tidak menunjukkan identitas atau anonymity untuk menghindari jeratan hukum, dan seni yang mereka buat bersifat sementara karena dilakukan di ruang publik. Ketika ada oknum tertentu yang merasa terganggu dengan seni mural, karya tersebut bisa saja dihapus.

Seniman mural, graffiti, dan street art ini sebagian besar bergerak karena mengkritik dominasi tertentu, dan memiliki tujuan yang jelas seperti propaganda, kritik politik sosial, ekonomi, dan juga budaya. Mereka melakukan kritik karena beranggapan sebagai warga negara, mereka memiliki peran guna kesadaran publik. Mas Manggala menyampaikan bahwa “rasa takut itu ada, tapi kritik harus tetap disampaikan”. Menariknya pembahasan dari tema ini adalah seni street art sendiri sudah menjadi budaya perlawanan dari warga Indonesia sejak jaman penjajahan. Pada masa kolonial para pemuda mencoba melawan kekuatan yang mendominasi dengan cara menggambar atau menuliskan kata perlawanan di beberapa kawasan tertentu. Selama ada kekuatan yang mendominasi dan merendahkan, pasti akan muncul perlawanan dalam berbagai bentuk, contohnya seperti mural, graffiti, dan street art [NKH/HIMANTARA/ANT]