Dari Tanaman Secang ke Produk Kreatif: Inisiatif KAMI di Sumbergondo

KAMI (Kegiatan Antropologi Mengabdi) 2024, program unggulan dari PENGMAS (Pengabdian Masyarakat) Himpunan Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya (HIMANTARA), baru saja sukses dilaksanakan di Desa Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji, Kota Malang, pada tanggal 7 dan 8 September. Dengan tema Pemberdayaan Masyarakat: Inovasi Ekonomi Kreatif, Berdampak dan Berkelanjutan, acara ini berhasil menggabungkan aspek budaya dan ekologi untuk memberdayakan masyarakat lokal. Selama dua hari, peserta terlibat dalam berbagai kegiatan yang menunjukkan cara memanfaatkan tanaman secang sebagai pewarna alami dan bahan utama dalam pembuatan wedang uwuh.

Sebelum masuk ke kegiatan utama, layaknya pekerjaan lapangan lainnya, tentunya kami telah melakukan serangkaian survei terlebih dahulu. Pada survei pertama ke Desa Sumbergondo, tampak jelas bahwa halaman rumah warga di Desa Sumbergondo dipenuhi dengan beragam jenis tumbuhan yang kebanyakan adalah bunga, bawang prei (daun bawang), dan tanaman hias yang mempercantik lingkungan mereka. Bahkan, di sepanjang pinggir jalan yang paralel, keanekaragaman tanaman ini terlihat jelas. Namun, observasi menunjukkan bahwa tanaman obat keluarga (TOGA) kurang mendominasi dibandingkan dengan jenis tanaman komersial yang lebih populer tersebut. Padahal, TOGA memiliki potensi besar, terutama jika dikembangkan secara optimal di lingkungan rumah.

Pilihan untuk fokus pada Sumbergondo bukanlah kebetulan semata, melainkan sebuah keputusan strategis yang didorong oleh potensi dan keunikan yang dimiliki desa ini. Anif Maysitta selaku ketua pelaksana KAMI 2024, menuturkan bahwa sekitar tahun 2015-an, kebun-kebun apel di Batu hingga Pujon mengalami kerusakan massal, belum lagi dengan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi semakin memperburuk keadaan. Lebih jauh lagi, adanya rencana untuk menjadikan Desa Sumbergondo sebagai salah satu desa wisata di Kota Batu justru dapat memperburuk kondisi, mengingat potensi tanaman apel di daerah tersebut semakin menurun.

Di situlah KAMI menjadi salah satu upaya pengabdian yang dilakukan mahasiswa Antropologi UB guna mencari jawaban dari ketidakpastian tersebut. Dengan pendekatan yang mendalam dan berbasis riset, KAMI berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial yang muncul dari situasi yang ada dan menawarkan solusi yang bukan hanya relevan, tetapi juga berdampak bagi masyarakat Desa Sumbergondo. Maka terciptalah solusi dengan menggunakan komoditas lain yang bisa tumbuh di wilayah tersebut, secang.

Keputusan untuk memilih secang adalah langkah yang penuh keberanian dalam menjelajahi potensi yang tersembunyi, serta menggali kekayaan alam yang sering kali terabaikan di tengah maraknya pilihan yang lebih ‘modern’ dan ‘praktis’. Dilihat dari segi topografi wilayah, tanaman secang sangat ideal untuk ditanam di wilayah Desa Sumbergondo, Kota Batu, karena iklim yang mendukung pertumbuhannya. Secang, dapat tumbuh subur pada ketinggian 500 hingga 1000 meter di atas permukaan laut (Astina, 2010). Berdasarkan data BPS dalam laporan “Tinggi Wilayah di Atas Permukaan Laut (DPL) Menurut Kecamatan di Kota Batu” tahun 2016, Kecamatan Bumiaji berada pada ketinggian 950 meter di atas permukaan laut, menjadikan wilayah ini sangat sesuai sebagai tempat budidaya tanaman secang. Melihat topografi Desa Sumbergondo yang berada di dataran tinggi, tidaklah mengherankan bahwa mayoritas masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani dan tidak akan asing dengan secang.

Selain itu, pemilihan secang sebagai solusi juga mempertimbangkan manfaat yang didapatkan. Secang dalam bahasa latin Biancaea sappan Lignum menjadi bagian dari tanaman tropis yang termasuk dalam kategori tumbuhan herbal dan tumbuh secara alami di hutan-hutan sekunder. Tanaman ini dikenal luas karena kandungan senyawa aktifnya, seperti brasilin dan hematoksilin, yang memberikan warna merah cerah pada pewarna alami. Selain penggunaannya dalam industri tekstil tradisional, secang juga menunjukkan potensi besar dalam pengembangan pewarna makanan dan kosmetik yang ramah lingkungan. Secang juga mengandung senyawa fenolik, seperti flavonoid, yang memiliki aktivitas antioksidan efektif dalam menangkap radikal bebas. Aktivitas antioksidan dari secang memiliki keunggulan dibandingkan dengan bahan sintetis karena residunya lebih mudah terdegradasi. Selain itu, ekstrak secang juga menunjukkan berbagai sifat farmakologis, termasuk anti-inflamasi dan antimikroba, menjadikannya bahan potensial dalam industri kesehatan yang berfokus pada solusi alami dan berkelanjutan.

Program kerja ini secara khusus menyasar ibu-ibu rumah tangga yang dapat memanfaatkan keterampilan dari kelas ini sebagai sumber tambahan pendapatan keluarga. Melalui pelatihan kreatif, para ibu diharapkan mampu mengembangkan ide usaha rumahan yang tidak hanya menopang kebutuhan sehari-hari, tetapi juga memperkaya perekonomian lokal. Namun, kelas ini tidak terbatas hanya bagi ibu-ibu rumah tangga, melainkan terbuka untuk semua kalangan.

Acara yang diselenggarakan selama dua hari ini menghadirkan suasana edukatif melalui dua kelas kreatif yang menarik. Kelas pertama berfokus pada pembuatan kain yang tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga nilai jual yang tinggi. Sementara kelas kedua menghadirkan inovasi dalam pembuatan wedang uwuh.

Hari pertama diawali dengan kegiatan membuat kain bercorak menggunakan teknik shibori. Meskipun teknik ini berasal dari Jepang, shibori kini menjadi salah satu bentuk batik yang banyak digemari di Indonesia. Istilah shibori sendiri berasal dari kata kerja shiboru yang mengacu pada metode pewarnaan dengan cara mengikat dan mencelup kain. Walaupun hasil motifnya sering kali menyerupai batik, proses shibori lebih sederhana dan mudah dibandingkan batik tradisional. Keunikan shibori terletak pada unsur kejutan dalam penciptaan motif dan warna, yang muncul tanpa dapat diprediksi secara pasti melalui proses pencelupan. Selain itu, kain hasil teknik shibori menawarkan fleksibilitas tinggi, dapat digunakan dalam berbagai kesempatan, baik formal maupun informal, serta memiliki potensi besar untuk dikreasikan menjadi produk-produk fesyen yang beragam.

Pada hari kedua, kegiatan dilanjutkan dengan kelas membuat wedang uwuh, minuman herbal khas Yogyakarta yang populer karena khasiatnya. Wedang uwuh, yang secara harfiah berarti “minuman sampah,” merujuk pada campuran berbagai rempah seperti jahe, kayu secang, cengkih, daun pala, dan bahan lainnya yang terlihat seperti tumpukan sampah organik. Biasanya, wedang uwuh disajikan dengan cara mencampurkan bahan-bahan tersebut langsung ke dalam air panas. Namun, dalam acara KAMI, inovasi diperkenalkan dengan menggunakan kantung seperti teh celup untuk menyederhanakan penyajian. Metode ini tidak hanya praktis, tetapi juga memberikan kesan modern dan efisien tanpa mengurangi cita rasa serta manfaat kesehatan dari wedang uwuh itu sendiri. Peserta dapat dengan mudah menyeduh minuman herbal ini tanpa harus menyaring rempah-rempah yang biasanya tersisa di dasar cangkir.

Masyarakat, terutama ibu-ibu, menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap kelas ini. Antusiasme tersebut terlihat jelas dari tingkat partisipasi masyarakat cukup tinggi, dengan jumlah peserta mencapai 45 orang. Kehadiran yang cukup besar ini mencerminkan minat dan semangat masyarakat untuk belajar keterampilan baru yang bisa bermanfaat bagi kesejahteraan keluarga.

Kedua kegiatan ini memberikan manfaat ekonomi terutama dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan dan modal yang tidak terlalu besar, menjadikannya peluang bisnis yang berpotensi menguntungkan. Seiring meningkatnya potensi wisata di desa ini, ibu-ibu dapat memasarkan produk mereka kepada wisatawan, memperkenalkan budaya lokal, serta meningkatkan pendapatan keluarga. Inovasi ini juga selaras dengan tren pasar yang semakin mengutamakan produk alami dan ramah lingkungan, memperkuat nilai ekonomi kreatif yang berbasis pada kearifan tradisional.

Referensi

Astina, 2010. Optimasi Pembuatan Ekstrak Etanolik Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Secara Digesti. Skripsi. Program Studi Ilmu Farmasi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.