Berjalan bersama Air: Perjalanan Irsyad Martias dalam Menuntaskan Disertasinya di Gunung Kidul, Yogyakarta

“Dulu waktu masih jadi anggota Mapala, saya berkunjung ke sungai bawah tanah di Gunung Kidul. Sesudah itu, kami diajak ke rumah warga. ‘Loh, kok, di sini malah kekeringan?’ Saya heran sekali waktu itu. Padahal, jarak rumahnya dekat sekali dengan sumber air yang melimpah ruah,” kenangnya saat menjelaskan pengalamannya yang kemudian menjadi latar belakang disertasinya terkait infrastruktur hidrososial di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta. Irsyad Martias, S.S., M.A., Ph.D., atau yang lebih akrab disapa Mas Irsyad, berhasil mendapatkan gelar doktor di National Chengchi University, Taiwan dalam kajian Asia Pasifik.
Dalam disertasi ini, Mas Irsyad berpendapat bahwa kekeringan yang terjadi di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta, merupakan akibat dari infrastruktur yang tidak maksimal. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua alasan utama. Pertama, lokasi sumber air yang berada di bawah tanah membutuhkan infrastruktur lebih memadai untuk dapat memompa air. Akibatnya, penggunaan listrik menjadi sangat besar dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Kendala biaya ini juga terkait dengan alasan kedua, yaitu perlu perawatan ekstra terhadap pipa dan pompa air. Banyak pipa telah rusak ditemukan Mas Irsyad saat melakukan penelusuran terhadap seluruh jaringan pipa di wilayah penelitian. Untuk memperbaiki pipa-pipa tersebut agar distribusi air merata, tentu biaya yang dibutuhkan sangat besar. Sayangnya, dana yang dimiliki pemerintah daerah untuk mengakomodasi kebutuhan pengadaan dan perawatan infrastruktur terkait air sangat terbatas. Tata kelola dan pendanaan yang belum maksimal ini membuat kondisi kekeringan menjadi sulit diatasi dan pelayanan air menjadi semakin sulit karena tidak ada aspek keberlanjutan di dalamnya.

Uniknya, seluruh kompleksitas masalah kekeringan ini tidak diketahui oleh masyarakat. Masyarakat mengetahui apa haknya, tetapi tidak tahu proses di balik layar atas masalah yang menghambat pemenuhan hak mereka terhadap air bersih. Akibatnya, timbul resiliensi dari masyarakat dalam menghadapi kekeringan. Mereka menggunakan pengalaman serta indera dalam menemukan solusi. Sebagai contoh, masyarakat hafal pola matinya air per wilayah sehingga mereka menciptakan solusi seperti mematikan keran air di wilayah tertentu agar wilayah lainnya dapat mengakses air. Inilah yang diibaratkan Mas Irsyad dengan ‘berjalan bersama air’. Apalagi, air yang selama ini dianggap objek mati, sebetulnya sangat dinamis karena sarat dengan kontestasi hingga politisasi dalam pengelolaannya.
Lebih lanjut, solusi tidak hanya datang dari pemerintah dan masyarakat.
“Ada dari NGO (non-governmental organization), misalnya, mereka memberikan sebentuk program dalam rencana pemerintah sebentuk pelatihan pekerja, teknis, fasilitas, dan sebagainya. Selain itu, ada juga bantuan small-scale infrastruktur, yaitu alat solar cell yang digunakan untuk mencari sumber air dan diproduksi dengan solar cell,” papar Mas Irsyad. “Tapi karena ini teknologi baru, jadi jika alatnya rusak, masyarakat gak bisa memperbaiki, yang akhirnya tidak sustain.”
Setelah tuntas membahas disertasinya, Mas Irsyad memberikan beberapa kiat menulis yang dapat digunakan untuk skripsi, studi lanjut, atau tulisan serupa. Kiat tersebut berupa anjuran untuk menghargai waktu, belajar konsisten, menikmati proses fieldwork, dan jangan menunda-nunda karena risiko melewatkan momen penting seperti informan, kegiatan, dsb, yang dapat digunakan sebagai data. Terakhir, penting untuk berjejaring agar terdapat transfer knowledge dan bantuan yang sekiranya memudahkan selama pengumpulan data.
Pada akhir wawancara, Mas Irsyad mengungkapkan bahwa disertasi ini didedikasikan untuk orang-orang yang telah membantu selama penelitiannya, seperti warga lokal, pekerja, dsb. Harapannya, ada lebih banyak penelitian dengan fokus serupa yang hasilnya dapat didiskusikan bersama. (DV/AR)