Antroposen dan Kapitalisme: Eksplorasi Relasi Manusia, Alam, dan Budaya Adat di Era Modern

Dialog Etnografi merupakan program kerja Divisi Penelitian dan Pengembangan Kepenulisan (Litbang) HIMANTARA. Acara ini diselenggarakan sebagai rangkaian diskusi antara pemateri dan audiens. Pada kepengurusan tahun 2024, Dialog Etnografi terdiri dari tiga rangkaian dengan tema besar Anthroposen Era: Mengulik Ekspansi Kapitalisme di Tanah Budaya. Rangkaian pertama, yang dilaksanakan pada 31 Agustus 2024, membahas tentang Antroposen dan dampaknya terhadap hubungan manusia dengan alam. Acara ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Rangga Kala Mahaswa, S.Fil., M.Phil., yang biasa disapa Mas Rangga, dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada yang mendalami filsafat manusia, teknologi, dan biologi, serta Irsyad Martias, S.S., M.A., Ph.D., yang biasa disapa Mas Irsyad yang merupakan dosen Antropologi Universitas Brawijaya dengan fokus kajian pada studi infrastruktur dan kolektivisme masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Diskusi ini mengeksplorasi berbagai dimensi dari dampak aktivitas manusia terhadap planet bumi.

Dialog dimulai dengan pengenalan konsep Antroposen. Mas Rangga menjelaskan bahwa Antroposen merujuk pada era geologis di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan dominan yang memengaruhi perubahan ekosistem bumi. Dengan kreativitasnya, manusia telah mengubah bentang alam, memanfaatkan sumber daya secara intensif, dan secara tidak langsung menciptakan krisis lingkungan global. Menurut Mas Rangga, hal ini mendorong manusia untuk memikirkan ulang hubungan mereka dengan alam, terutama dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan kerusakan ekosistem.

Selain Antroposen, kapitalisme juga menjadi topik penting dalam diskusi ini. Kapitalisme dianggap mempercepat eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar. Menurut Mas Irsyad, kapitalisme menciptakan sistem di mana alam dieksploitasi demi keuntungan ekonomi, sering kali tanpa memedulikan dampak ekologisnya. Ia menjelaskan bahwa kapitalisme telah memprivatisasi akses terhadap sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak publik, seperti air dan energi. Dalam konteks ini, kapitalisme juga memperburuk ketidaksetaraan sosial, karena sumber daya menjadi semakin sulit diakses oleh masyarakat adat dan kelompok marginal.

Rangkaian kedua Dialog Etno diselenggarakan pada tanggal 21 September 2024.  Diskusi diisi oleh peneliti sosial sebagai pemateri, Gilang Mahardika yang biasa disapa Mas Gilang. Rangkaian kedua ini membahas eksploitasi dan komodifikasi sumber daya alam. Diskusi ini menyoroti permasalahan biopolitik dan bagaimana kapitalisme mendorong manusia untuk terus mengekstraksi alam demi keuntungan ekonomi, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keberlanjutan ekosistem. Film “Sexy Killer” dijadikan referensi dalam diskusi ini untuk menunjukkan bagaimana eksploitasi tambang batu bara menguntungkan kelompok oligarki, namun merugikan masyarakat lokal. Masyarakat sekitar PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) sering kali harus menanggung dampak lingkungan yang merugikan, seperti polusi udara dan pencemaran tanah, sementara pembangunan ekonomi nasional terus digenjot tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat kecil.

Rangkaian ketiga yang diselenggarakan pada tanggal 28 September 2024 kembali menghadirkan dua pemateri, yakni Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur yakni Lila Puspitaningrum, S.Pd., yang disapa Mbak Lila dan Yayuk Windarti, M. Si., dosen Antropologi Universitas Brawijaya yang akrab disapa Mbak Yayuk. Rangkaian ini berfokus pada dampak ekspansi kapitalisme terhadap budaya masyarakat adat, terutama di wilayah yang menjadi objek pariwisata. Penelitian yang dibahas dalam diskusi ini mengambil contoh dari wilayah Probolinggo dan Ngadas, di mana masyarakat adat Tengger menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan nilai-nilai budaya mereka di tengah modernisasi dan proyek pembangunan.

Salah satu isu yang dibahas adalah bagaimana proyek strategis nasional, yang berfokus pada pembangunan pariwisata di wilayah Tengger, sering kali bertentangan dengan nilai-nilai adat dan sakralitas lingkungan. Bukit Teletubbies, Ranu Pani, dan Ranu Regulo adalah beberapa wilayah yang terancam oleh pembangunan pariwisata yang hanya berorientasi pada profit. Konsep ecotourism yang diusung dalam proyek-proyek pariwisata ini sering kali hanya berfokus pada aspek ekonomi tanpa memperhatikan keseimbangan alam dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Masyarakat Tengger, yang memiliki hubungan erat dengan alam, merasa terisolasi karena akses mereka terhadap hutan konservasi menjadi terbatas. Wilayah-wilayah hutan yang dulu menjadi sumber penghidupan bagi mereka kini diprivatisasi dan dilabeli sebagai konservasi, sehingga masyarakat lokal dianggap sebagai pencuri ketika memanfaatkan sumber daya alam tersebut.

Dari ketiga rangkaian Dialog Etnografi 2024, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme dan Antroposen telah menciptakan ketidakadilan struktural yang memperburuk kerusakan lingkungan dan mengancam keberlanjutan budaya masyarakat adat. Diskusi ini menggarisbawahi bahwa eksploitasi sumber daya alam, komodifikasi wilayah sakral, dan modernisasi pariwisata telah menimbulkan dampak ekologis dan sosial yang mendalam. Solusi untuk krisis ini tidak dapat ditemukan hanya melalui pendekatan teknologi atau ekonomi semata, tetapi harus melibatkan perubahan mendasar dalam cara manusia memahami dan berinteraksi dengan alam, sambil menghormati kearifan lokal serta memperjuangkan keadilan sosial dan ekologi yang lebih inklusif.